digitalMamaID — Pengalaman pribadi perempuan bukan sekadar urusan individu, melainkan cerminan dari struktur sosial dan politik yang lebih luas. Feminisme menjelaskannya dengan “the personal is political”. Apa maksudnya?
Sempat viral tren ‘Rp 10 ribu ditangan istri yang tepat’, sebagian orang menyambut dengan positif. Di berbagai platform, video dan unggahan tren ini menampilkan istri yang berusaha mengelola uang Rp10 ribu menjadi berbagai menu makan keluarga. Menganggapnya bukti kreativitas dan ketangguhan perempuan dalam mengelola rumah tangga dengan anggaran minim.
Tren itu dihujani kritik tajam. Menganggap Rp10 ribu tak cukup apa-apa dan tak relate dengan kehidupannya. Akhirnya banyak perempuan yang saling berargumen, saling serang mencari pembenaran. Padahal jika ditelisik lebih dalam, ada persoalan yang lebih luas lagi, persoalan struktural dan sistemik yang tidak kita disadari.
Pengajar dan periset Universitas Indonesia, Hariati Sinaga melihat adanya adu argumen dalam tren ini sebagai bentuk kegagalan memahami persoalan yang lebih luas. Akhirnya pembahasan terjebak di persoalan individu. “Di sini kita melihat memang, dia menjadi konten yang dikomodifikasi. Tetapi justru perdebatan atau wacana yang bergulir tidak menghubungkan dengan persoalan luas,” ungkapnya dalam digitalMamaTalk, Jumat, 17 Oktober 2025.
“Seakan-akan ya sudah yang penting kita harus gimana beradaptasi dengan Rp10 ribu itu. Tidak berusaha mempertanyakan, apa sih yang sebenarnya terjadi yang menyebabkan kita harus menerima Rp10 ribu ini gitu. Apakah sebenarnya ini hal yang normal Rp 10 ribu ini,” lanjutnya.
Menurutnya perempuan tak bisa disamaratakan. Setiap perempuan punya resource dan support yang berbeda-beda. Mungkin perempuan di daerah punya kebun pangan, sehingga sebagian pasokan makanan bisa diambil dari kebunnya sendiri. Namun, tidak semua perempuan bisa demikian. Ada yang mereka bergantung sepenuhnya pada pendapatan rumah tangga dan akses ke pasar untuk memenuhi kebutuhan pangannya.
Gagal melihat persoalan struktural
Menurut Hariati, seringkali hal-hal yang terjadi di rumah itu dianggap sebagai hal-hal privat yang tidak perlu dibahas atau tabu untuk dibicarakan. Padahal keseharian dan hal-hal yang mungkin dianggap remeh-temeh itu sebenarnya adalah refleksi atau manifestasi gambaran dari persoalan yang lebih luas. Persoalan yang bersumber pada struktur sosial yang terkait dengan sistem yang lebih besar.
“Tapi seringkali kita melihatnya seperti terpisah karena keseharian kita yang mungkin kita juga tidak dididik untuk melihat hubungan itu. Atau, kita juga sudah terbiasa dengan hal itu, jadi hal yang normal gitu,” katanya.
Sebenarnya apa yang dianggap tabu ataupun hal-hal yang privat, yang seakan-akan tidak terlihat itu berhubungan erat dengan persoalan publik. Seperti yang dikemukakan oleh para feminis gelombang kedua melalui gagasan the personal is political, pandangan ini berangkat dari kesadaran bahwa persoalan-persoalan domestik dan pengalaman pribadi perempuan tidak bisa dipisahkan dari struktur sosial dan politik yang membentuknya.
The personal is political
Istilah “the personal is political” muncul di tahun 60-an dan 70-an di barat, pada gelombang kedua feminisme (second wave feminism) sampai tahun 80-an. Istilah ini sering digunakan dalam kampanye-kampanye meningkatkan kesadaran tentang persoalan yang dihadapi oleh perempuan-perempuan pada waktu itu.
“Para pemikir atau para aktivis perempuan pada zaman itu memperkenalkan atau menggunakan istilah the personal is political itu untuk melihat apa yang dia rasakan sehari-hari yang sifatnya mungkin pribadi, personal, tapi sebenarnya dipengaruhi atau menggambarkan persoalan yang lebih luas,” jelasnya.
Strategi ini berusaha untuk mengajak publik berpikir kritis. Masyarakat didorong untuk melihat persoalan pribadi yang dihadapi berkaitan dengan kebijakan. Kebijakan yang dimaksud bisa di level komunitas, daerah, atau bahkan nasional.
Misalnya, jika di konteks urban, perempuan bekerja harus merasakan perjalanan sampai tiga jam menuju kantor. Berarti ada kegagalan pemerintah dalam menyediakan infrastruktur transportasi umum yang berpihak pada perempuan. Atau keberadaan tidak adanya penitipan anak atau daycare sehingga perempuan pekerja harus menitipkan anaknya kepada keluarga atau memutuskan pindah ke sektor informal yang perlindungannya tidak lebih baik dari sektor formal.
Di konteks pedesaan, persoalan infrastruktur dan layanan kesehatan masih menjadi dua hal yang seringkali menjadi tantangan yang dihadapi oleh perempuan. Misalnya terpaksa harus melahirkan di jalan karena tidak adanya transportasi, jalanan rusak dan tidak ada dukungan bidan di daerahnya sehingga harus dibawa ke desa lain. Hal-hal seperti ini adalah persoalan struktural.
Media sosial bisa jadi alat kesadaran kolektif
Dalam konteks inilah media sosial dapat menjadi alat untuk membangun kesadaran kolektif. Menurut Hariati, media sosial bisa menjadi ruang penting bagi perempuan untuk menunjukkan dan membicarakan persoalan yang mereka hadapi. Media sosial bisa meningkatkan kesadaran kolektif tentang ketimpangan yang bersifat struktural. Melalui ruang digital, perempuan dari berbagai konteks geografis dan sosial ekonomi dapat berbagi pengalaman dan menemukan bahwa meski situasinya berbeda, implikasinya berbeda, akar persoalannya sering kali sama.
Dari percakapan ini, muncul peluang untuk mendorong kebijakan publik yang lebih berpihak dan spesifik pada kebutuhan perempuan. Misalnya dukungan bagi pekerja perempuan yang menyusui atau layanan transportasi yang ramah ibu dan anak.
“Pembicaraan lewat sosial media bisa menjalin solidaritas terutama antara perempuan-perempuan yang menggunakan ranah digital untuk bisa menyuarakan kepentingannya bersama-sama, justru dari tekanan publik yang lebih kolektif bisa memberikan dampak yang lebih besar daripada,” katanya.
Feminist ethics of care
Namun, kesadaran kolektif itu tidak hanya tumbuh dari keberanian untuk bersuara, tetapi juga dari cara kita saling memperlakukan satu sama lain di ruang digital. Di sinilah menurut Hariati, pentingnya menerapkan prinsip feminist ethics of care. Konsep feminisme yang menekankan nilai perhatian, empati, dan kepedulian dalam setiap interaksi.
Alih-alih langsung berkomentar, menilai, atau menghakimi, kita diajak untuk merefleksikan konteks dan posisi diri. Apakah kita memahami situasi orang tersebut, apa yang bisa kita pelajari dari pengalamannya, dan bagaimana merespons dengan cara yang tidak merendahkan.
“Memang itu butuh disiplin, mungkin karena kita juga hidup ataupun lahir dari dibiasakan berkompetisi, dibiasakan kepo, dibiasakan langsung mungkin tidak peduli ya dengan konten-konten yang sebenarnya ternyata dari situ kita bisa belajar banyak,” katanya.
Melalui proses unlearning terhadap kebiasaan digital yang kompetitif, reaktif, dan abai, serta belajar kembali untuk peduli dan bertanggung jawab. Dengan menerapkan ethics of care, interaksi di media sosial bisa menjadi lebih manusiawi dan reflektif, serta memperkuat kesadaran akan tanggung jawab kita sebagai warga digital (digital citizenship).
Daripada memicu konflik horizontal dengan sesama perempuan lebih baik mengalihkan energi ke arah kebijakan yang lebih bermanfaat, ke persoalan struktural di baliknya. Perempuan yang merupakan kelompok rentan dengan berbagai latar belakang harus membangun ruang-ruang yang aman dan menumbuhkan kepedulian di ranah digital.
“Choose your fight. Fight kita justru harusnya ke atas sana (pemerintah) bukan sesama perempuan. Karena kita tahu, kita tidak diperhatikan juga oleh para penguasa di luar sana, siapa lagi kalau bukan kita sesama perempuan,” pungkasnya. [*]





