Cerita Perjalanan Anakku di SLB

Share

Pendidikan merupakan salah satu hak anak yang wajib dipenuhi oleh orangtua. Inilah yang mendasari kami bahwa dengan berbagai hambatan yang dimiliki Nindy, putri kami dengan spektrum autisme, ia pun harus bersekolah selain terapi yang selama ini telah dijalaninya. Mengapa akhirnya kami pilih Sekolah Luar Biasa (SLB)?

Saya cerita dulu, sebetulnya Nindy pertama kali sekolah di TK umum dan hanya bertahan selama sepuluh bulan. Saat itu Nindy tidak dapat mengikuti teman-teman sebayanya. Ia hanya bermain sendiri sehingga menimbulkan berbagai pertanyaan dari murid dan para orangtua lain. Presentasi tentang kondisi Nindy terkadang membuat sayacapek”, walaupun sebenarnya mungkin dapat menyebarkan informasi untuk oranglain. Kegiatan lain pun banyak kami skip karena keterbatasan Nindy yang malah dapat menimbulkan ketidaknyamanan untuk murid lainnya

Saya dan suami kala itu sering berbeda pendapat soal sekolah. Sempat berpikiran untuk tidak menyekolahkan Nindy (hanya terapi) atau homescholling saja. Tahun 2022 ketika adiknya mulai bersekolah, Nindy terlihat ingin ikut bersiap sekolah. Sejak saat itu, ia sering ikut mengantarkan dan menjemput adiknya sekolah. Di sini kami berpikir kembali. Ternyata anak autis penting punya rutinitas sekolah, ya! Tetapi kali ini suami mempertimbangkan SLB untuk sekolah Nindy karena menurutnya anak autis (berkebutuhan khusus) harus berada di ‘’kolam’’ yang sama.

Awalnya ada keraguan dan kekhawatiran dalam hati saya yang belum paham tentang SLB. Apakah anakku akan diterima dengan baik jika sekolah di sana? Apakah anakku bisa berkembang dengan baik atau malah turun kemampuannya? Namun setelah saya ikut survei langsung ke beberapa SLB, ternyata tidak ‘’semenyaramkan’’ itu, kok!

Akhirnya pada bulan Januari 2023 di usianya yang akan menginjak sembilan tahun kala itu, Nindy resmi bersekolah di salah satu SLB untuk penyandang neurodiversity atau keberagaman saraf di Kota Bandung. Keberagaman yang dimaksud seperti autisme, gangguan bahasa dan komunikasi, disleksia, ADD, dan ADHD. Ada juga satu orang penyandang down syndrome dan celebralpalsy juga masuk di sekolah ini. Mungkin untuk usia sebayanya, Nindy tertinggal dua tahun untuk masuk sekolah dasar. Tapi tidak ada kata terlambat, mudah-mudahan kami sebagai orangtua bisa melihat Nindy ceria memiliki rutinitas sama dengan adik.

Sudah tahun ketiga Nindy bersekolah di SLB. Hingga saat ini, ia selalu bersemangat ketika akan berangkat ke sekolah. Tiba di sekolah, bermain ayunan sebentar lalu bel berbunyi. Morning time saat yang ditunggu oleh Nindy karena dapat bergabung dengan semua murid dari kelas satu hingga kelas enam. Mengikuti olahraga bersama, upacara bendera, menyiram tanaman, dan kegiatan lain sama dengan anak-anak pada umumnya. Pukul sembilan pagi, masuk ke kelas masing-masing yang terdiri dari lima orang murid dengan 1 satu orang guru kelas. Istirahat cukup 30 menit, tentunya harus didampingi oleh orangtua atau pengasuh masing-masing karena guru juga perlu istirahat. Oleh karena itu, saya harus siap dan siaga di sekolah.

Bukan hanya saya yang menunggu Nindy di SLB, para orangtua lain atau pengasuhanakpun berkumpul. Kami berbincang mengenai segala hal terutama kondisi anak. Hal inilah yang baru saya dapatkan dan tidak dapat ditemui di sekolah dulu. Tidak ada bullying, semuanya seakan sibuk dengan kondisi anak masing-masing. Pukul 11.30 semua murid makan siang bersama yang disiapkan oleh orangtua masing-masing. Setelah itu lanjut salat zuhur bagi yang beragama Islam, sedangkan untuk agama lainnya bisa langsung pulang.

Sambil menunggu anak pada jam tersebut, saya bisa me time sebentar untuk mengerjakan urusan pribadi yang kadang tidak sempat dilakukan di rumah. Ada kalanya saya juga harus ikut olahraga jalan jauh. Ini hanya untuk memantau saja karena sebetulnya anak sudah didampingi oleh gurunya. Setiap bulan ada beberapa kegiatan untuk orangtua seperti parenting dari pakar seperti dokter dan psikolog, acara olahraga dan makan bersama serta pengajian rutin. Saya merasa banyak saudara baru dengan takdir sama yang mengajarkan arti bersyukur dan saling menguatkan.

Pada akhirnya keputusan menyekolahkan anakku di SLB adalah langkah baik yang bisa memberi ruang untuk anak kaum neurodivergent bisa diterima apa adanya. Anakku pun nyaman dengan rutinitasnya dan tidak stress karena tuntutan akademik. Bagi saya, SLB juga bukan hanya tempat untuk belajar tapi menjadi ruang tumbuh bagi anak dan orang tua untuk saling belajar sabar dan bersyukur bisa melihat segala keunikan yang dimiliki oleh setiap murid.

Fitria Mustikawati

 


Cerita Mama berisi cerita yang ditulis oleh pembaca digitalMamaID seputar pengalamannya saat bersentuhan dengan dunia digital. Baik saat menjalankan perannya sebagai individu, istri, ibu, pekerja, maupun peran-peran lain di masyarakat. Kirimkan cerita Mama melalui email redaksi@digitalmama.id atau digitalmama.id@gmail.com dengan subyek [Cerita Mama].

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Terpopuler

ORDER MERCHANDISE

Bingung cari konten yang aman untuk anak?
 
Dapatkan rekomendasi menarik dan berikan pendapatmu di Screen Score!
Ilustrasi melatih anak bicara/Bukbis Ismet Candra Bey/digitalMamaID