digitalMamaID – Gelombang demonstrasi yang bergulir sejak Senin, 25 Agustus 2025 masih terus berlangsung hingga kini. Gerakan massa itu tidak hanya terjadi di jalanan, tapi juga di ruang digital. Berbagai informasi berbaur dengan hoaks, misinformasi, disinformasi, hingga rekayasa digital berbasis artificial intelligence (AI) seperti deepfake yang memperkeruh situasi.
Ketua Presidium Masyarakat Antifitnah Indonesia (Mafindo), Septiaji Eko Nugroho atau Zek mengungkapkan, hoaks yang beredar kali ini jauh lebih berbahaya. “Bukan hanya potongan teks atau foto lama, tapi juga hasil rekayasa teknologi canggih yang sulit dideteksi keasliannya,” ujarnya, Minggu, 31 Agustus 2025 di Yogyakarta.
Salah satu contoh adalah video kerusuhan di Baghdad yang dipelintir seolah-olah demonstrasi di Jakarta. Ada pula kabar penjarahan Gedung DPR dan Mall Atrium Senen yang terbukti tidak benar. “Informasi semacam itu berisiko besar karena akibatnya, muncul ketidakpastian, kemarahan, hasutan kebencian, dan aksi kekerasan,” katanya.
Empat seruan Mafindo
Menyikapi hal ini, Mafindo menyampaikan empat seruan:
1. Mendukung demonstrasi damai
Mafindo menegaskan, demonstrasi adalah hak warga negara yang dijamin dalam demokrasi. Oleh karena itu, semua pihak diminta menahan diri. “Demonstrasi tetap bisa berlangsung dengan damai tanpa harus mengorbankan keamanan publik,” kata Septiaji. Ia mengingatkan, masyarakat harus lebih kritis dan tidak gampang terpancing emosi akibat hoaks maupun ujaran kebencian.
2. Menolak kekerasan dan penjarahan
Aksi kekerasan oleh berbagai pihak baik demonstrans maupun aparat keamanan harus dihentikan, karena akan merugikan semua pihak. Seperti halnya tindakan represif seperti penjarahan adalah tindakan yang harus dijauhi karena tergolong tindak pidana pencurian.
Selain itu konten-konten yang berkontribusi besar terhadap meningkatnya eksalasi kekerasan di lapangan juga nantinya memicu kemarahan dan memperkeruh keadaan. Oleh sebab itu, Septiaji Eko Nugroho, Ketua Predisium Mafindo yang mengatakan, masyarakat tidak boleh terprovokasi oleh konten-konten yang tidak jelas.
“Masyarakat jangan mudah terprovokasi oleh konten tidak jelas, hokas, maupun hasutan kebencian,” ucap Septiaji.
3. Mendorong literasi digital
Fenomena deepfake menjadi tantangan baru. Teknologi ini bisa memalsukan suara dan wajah seseorang hingga terlihat nyata. Tanpa literasi digital yang memadai, publik sulit membedakan fakta dengan rekayasa.
Mafindo menolak pembatasan fitur live terkait demonstrasi karena dianggap melanggar kebebasan berekspresi dan hak masyarakat untuk mendapatkan informasi. “Digital activism merupakan bentuk partisipasi dan aksi sosial politik melalui media digital,” jelas Septiaji. Menurutnya, yang dibutuhkan bukanlah pelarangan, melainkan peningkatan kecakapan digital agar masyarakat bisa lebih waspada terhadap hoaks.
4. Menjelaskan risiko aktivisme digital
Tindakan ini jelas merupakan pelanggaran privasi dan bisa memicu masalah serius, termasuk persekusi maupun serangan siber. Mafindo mengingatkan agar masyarakat lebih berhati-hati dan selalu menggunakan media sosial secara bijak serta bertanggung jawab.
Memahami risiko dalam aktivitas digital ini menjadi salah satu kewaspadaan terhadap hoaks dan misinformasi yang menjadi kunci agar masyarakat tidak semakin terjebak dalam pusaran konflik yang merugikan semua pihak. Mafindo juga menyerukan agar ketegangan segera berakhir dan masyarakat kembali bergandeng tangan membangun masa depan Indonesia bersama-sama.
Mafindo menegaskan, jalan keluar dari situasi ini bukan dengan menutup ruang digital atau membatasi siaran langsung, melainkan memperkuat literasi publik. “Yang kita perlukan adalah kemampuan bersama untuk membedakan informasi valid dari informasi palsu, bukan menutup akses masyarakat untuk tahu,” tegas Septiaji. [*]






