Parenting 5.0: Siapkah Mengasuh Anak di Era AI?

Mama Mingle Fest Vol.02: Mother Power
Share

digitalMamaID — Pernahkah Mama merasa justru anak lebih cepat paham soal teknologi daripada kita? Mulai dari aplikasi terbaru sampai Artificial Intelligence (AI), anak-anak sering jadi “guru kecil” bagi orangtuanya. Ada kebanggaan, tapi juga muncul kebingungan dan bahkan ketakutan, bagaimana dampaknya pada tumbuh kembang anak, apalagi jika orangtua belum memahami sepenuhnya apa itu AI.

Rasa ingin tahu sekaligus kegelisahan inilah yang coba dijawab digitalMamaID lewat talkshow “Parenting 5.0: Siapkah Kita Mengasuh Anak di Era AI?”. Acara ini merupakan bagian dari rangkaian Mama Mingle Fest Vol.2: Mother Power, yang berlangsung di Gedung Bursa Efek Indonesia (BEI) Kantor Perwakilan Jawa Barat pada Sabtu, 13 September 2025. Hadir sebagai narasumber Founder & Advisor Indonesia AI Institute Iim Fahima Jachja, Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Islam Bandung Santi Indra Astuti, Manager of General Affair Litara Foundation Aldi Ramadhan Fahlevi, serta Kepala Kantor Perwakilan BEI Jawa Barat Achmad Dirgantara.

AI di mata anak dan risiko yang menyertainya

Bagi remaja dan pra-remaja, ChatGPT sudah menjadi AI paling populer. Mereka menggunakannya untuk mengerjakan soal, mencari ide, bahkan sekadar menemani ngobrol. Di dunia pendidikan, ChatGPT dipandang sebagai alat bantu. Namun, tanpa pendampingan, anak bisa keliru memanfaatkannya. Kasus ekstrem seorang remaja 16 tahun di California yang mengakhiri hidup setelah intens berinteraksi dengan ChatGPT menjadi pengingat betapa serius dampaknya.

Iim Fahima Jachja menegaskan, anak tidak boleh dibiarkan berselancar sendirian di dunia AI. “Otak anak belum di level yang memiliki critical thinking untuk menilai apakah jawaban AI itu benar atau salah. Bahkan orang dewasa saja banyak yang tersesat kalau terlalu bergantung pada AI,” tegas Iim.

Namun, Iim juga mengingatkan bahwa solusinya bukanlah menjauhkan anak sepenuhnya dari AI. Sebaliknya, AI bisa bermanfaat jika digunakan dengan bijak. Ia mencontohkan pengalamannya mendampingi anak SMP belajar Ekonomi. Banyak istilah sulit di buku yang akhirnya bisa dipahami setelah menggunakan ChatGPT, tentu dengan bimbingan orang tua.

ChatGPT banyak digunakan orang tua untuk meminta tolong, itu bagus, tetapi yang perlu digaris bawahi adalah dia harus memahami konteks yang dibahas, karena AI tidak selalu betul,” jelas Iim.

Di sinilah pentingnya peran orang tua mengajak anak berpikir kritis dan selalu mengedepan untuk memverifikasi fakta dengan sumber yang dipercaya.

“Jangan lupa untuk selalu kroscek, harus teliti untuk memastikan jawaban betul dan tidak menyesatkan. Karena kita adalah manusia yang memiliki kemampuan berpikir kritis sebagai filter (memilah dan mengolah informasi),” kata Iim.

Literasi, fondasi berpikir kritis

Hal lain yang perlu dicermati adalah bagaimana AI bisa membuat anak hanya menjadi konsumen informasi. Aldi Ramadhan Fahlevi dari Litara Foundation menekankan pentingnya literasi. Menurutnya, AI bukan satu-satunya sumber belajar. Membaca buku—baik fisik maupun digital—tetap menjadi bekal utama.

“Kalau anak hanya membaca jawaban singkat dari AI, dia cenderung pasif. Tapi anak yang sudah terbiasa membaca, berpikir kritis dan kreativitasnya akan tumbuh. Dia bisa menemukan problem solving bahkan dari sebuah novel,” kata Aldi.

Anak yang sudah terliterasi dengan baik, maka daya berpikir kritis dan kreatifitasnya akan tumbuh. Hal ini tidak dimiliki oleh mereka yang mencari kunci jawaban melalui AI.

“Bisa berpikir kritis ini tumbuhnya dari mana? Dari kebiasaan membaca terlebih dahulu, semua informasi yang dia punya sudah lebih baik dari AI ini, jadi AI ini hanya sebagai Validasi saja untuk dia, oh betul jawabannya ini,” terang Aldi.

Oleh karena itu, Aldi berpendapat, literasi tetap berawal dari buku. Buku tidak hanya memberikan jawaban saja melainkan juga mengajarkan anak bagaimana dia berpikir kritis dan memiliki peran penting dalam menghadirkan kecerdasan emosional bagi seorang anak, karena mengenalkan berbagai tokoh, kejadian, dan berbagai cerita, bahkan dia menemukan problem solving dari sebuah novel, dan dampaknya lebih panjang dibandingkan dengan jawaban-jawaban dari AI. 

Bagi Aldi, literasi melalui buku punya dampak jangka panjang. Buku tidak hanya menyajikan informasi, tetapi juga mengajarkan anak cara berpikir, memahami emosi, dan menyelami berbagai pengalaman hidup lewat tokoh serta cerita. Inilah yang membedakan anak yang hanya mencari kunci jawaban dengan mereka yang benar-benar mengolah informasi.

Peserta talkshow “Parenting 5.0: Siapkah Kita Mengasuh Anak di Era AI?” berfoto bersama. Acara ini merupakan bagian dari Mama Mingle Fest Vol.2: Mother Power, yang berlangsung di Gedung Bursa Efek Indonesia (BEI) Kantor Perwakilan Jawa Barat pada Sabtu, 13 September 2025.

Komunikasi, senjata utama orangtua

Sementara itu, Santi Indra Astuti mengingatkan hal yang sering terlupakan: komunikasi. Dalam pengasuhan era digital, komunikasi orang tua dengan anak adalah kunci utama.

“Orangtua jangan hanya jadi penyedia pulsa atau polisi yang mengawasi anak. Jadilah teman jajan, teman curhat, bahkan teman belajar,” tuturnya.

Dengan berkomunikasi, orangtua dan anak bisa sama-sama belajar, sehingga orang tua tidak hanya sebatas penyedia pulsa dan handphone, juga tidak terus menerus menjadi polisi untuk anaknya tetapi bisa menjadi teman jajan, teman curhat, dan teman belajar.

“Komunikasi orang tua dan anak harus dibangun seiring dengan perkembang teknologi, karena ujung-ujungnya ketika kita ngomongin pola pengasuhan AI akhirnya kembali lagi pada pengasuhan itu sendiri. Bagaimana kita menjadi orang tua menjadi teman curhatnya,” katanya.

Menurut Santi, komunikasi yang sehat membantu orang tua memahami sejauh mana anak sudah mengenal AI, apa saja risikonya, dan bagaimana menghadapinya bersama. Dengan begitu, orang tua tidak hanya hadir sebagai pengawas, melainkan juga sahabat yang dipercaya anak.

AI dan tantangan kebijakan

Tak kalah penting, kehadiran Kepala Kantor Perwakilan BEI Jawa Barat, Achmad Dirgantara, memberi perspektif lebih luas. Dunia industri dan keuangan kini juga dituntut memahami AI. Dari sisi kebijakan, pengawasan menjadi penting agar teknologi ini tidak membawa lebih banyak mudarat ketimbang manfaat. Kehadiran Achmad menunjukkan bahwa isu AI bukan hanya urusan akademisi atau praktisi teknologi, melainkan juga dunia bisnis dan institusi publik.

Mama, AI mungkin terasa asing, menakutkan, atau membingungkan. Tapi ingat, anak-anak kita sudah hidup di dalamnya. Melarang hanya akan membuat jarak semakin lebar. Sebaliknya, mendampingi dengan hati, melatih berpikir kritis, dan memperkuat komunikasi justru akan menjadi bekal mereka menghadapi dunia baru ini.

Editor in Chief digitalMamaID Catur Ratna Wulandari mengatakan, Mama Mingle Fest merupakan ruang belajar bersama bagi para ibu. Harapannya, ibu bisa mendapatkan bekal pengetahuan sebanyak-banyaknya untuk mendampingi keluarga. “Kami ingin membuka akses belajar seluas-luasnya,” katanya.

Teknologi boleh saja canggih, tapi manusia tetaplah yang memegang kendali. Dan bagi anak, tidak ada AI yang bisa menggantikan hangatnya bimbingan, cinta, dan empati dari orang tua. Jadi, sudah siapkah kita menyambut era Parenting 5.0? [*]

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Terpopuler

ORDER MERCHANDISE

Bingung cari konten yang aman untuk anak?
 
Dapatkan rekomendasi menarik dan berikan pendapatmu di Screen Score!
Ilustrasi melatih anak bicara/Bukbis Ismet Candra Bey/digitalMamaID