digitalMamaID – Ketika melihat ribuan orang turun ke jalan, membawa poster, berorasi, atau bahkan berhadapan dengan aparat, anak bisa merespons dengan pertanyaan polosnya, “Mereka ngapain, sih?” Saat mereka bertanya, orangtua perlu memberi penjelasan yang jujur dan adil. Sebab aksi demonstrasi bukan sekadar keributan. Peristiwa seperti ini adalah tanda ada masalah yang sedang dirasakan rakyat.
Gelombang aksi demonstrasi yang terjadi sepekan belakangan bisa menjadi momentum untuk berdiskusi dengan anak. Bukan hanya bicara soal politik, tapi juga menanamkan nilai demokrasi sejak dini. Anak bisa belajar bahwa rakyat punya hak bersuara, menuntut keadilan, dan meminta pertanggungjawaban. Mereka juga belajar tidak gampang menghakimi pada mereka yang terlibat aksi. Harapannya, anak bisa tumbuh menjadi generasi yang peduli, kritis, dan berempati. Generasi yang berani bertanya dan mencari keadilan.
Memberi penjalasan kepada anak
Melalui unggahan Instagram pada Sabtu, 30 Agustus 2025, Kalis Mardiasih dan Kawan Puan menjelaskan soal mengajarkan anak untuk adil melihat gerakan warga dalam bentuk aksi demonstrasi. Beberapa pertanyaan pemantik bisa menjadi bahan diskusi Mama dengan buah hati.
Mengapa warga berdemonstrasi?
Mama bisa memberi penjelasan, demonstrasi terjadi karena WNI telah melaksanakan kewajiban, tapi tidak diberi hak. Hak yang dimaksud ialah terkait pemenuhan kebutuhan dasar. Dengan harga kebutuhan pokok yang terus naik, warga dengan penghasilan kecil akan sulit memenuhi kebutuhan dasar, seperti beras, sumber protein, buah, dan lain-lain.
Ditambah dengan soal lapangan kerja yang semakin sulit. Warga sulit mendapatkan pekerjaan dengan upah yang layak, masih ditambah dengan ancaman PHK (Pemutusan Hubungan Kerja) sewaktu-waktu.
Akan tetapi, di media ramai diperbincangkan anggota DPR yang mendapat tambahan tunjangan dengan total pendapatan mencapai ratusan juta. Situasi itu diperparah dengan komentar-komentar nirempati dari anggota DPR soal fasilitas jabatannya. Rekaman anggota DPR berjoged di ruang sidang beredar luas di media sosial.
Mengapa tidak menyampaikan aspirasi dengan cara lain, misalnya diskusi?
Jawabannya, sudah. Elemen masyarakat sipil ada yang turut terlibat dalam pembahasan berbagai kebijakan pemerintah. Masyarakat sipil rajin menyusun masukan resmi setiap kali ada pembahasan undang-undang. Mereka menyusun Daftar Inventaris Masalah (DIM), berdiskusi, hingga mengajukan usulan. Tapi sayangnya, masukan itu kerap diabaikan. Kebijakan sering disahkan secara diam-diam.
Contohnya, UU Cipta Kerja yang dinyatakan cacat formil oleh Mahkamah Konstitusi, tapi tetap diterbitkan Perppu oleh Presiden. Ruang partisipasi publik pun tertutup. Wajar saja jika kemudian masyarakat akhirnya memilih demonstrasi sebagai jalan terakhir.
Demonstrasi adalah simbol situasi warga yang sudah genting. Rakyat datang untuk mengadu dan meminta pertanggungjawaban. Masyarakat berharap akan ditemui langsung dan mendengar jawaban yang adil dari wakilnya di parlemen.
Sayangnya, wakil rakyat tidak ada yang menemui mereka. Sangat kontras dengan situasi saat mereka meminta suara dari warga saat Pemilu.
Mengapa merusak fasilitas umum?
Banyak yang mengira demo identik dengan kericuhan. Padahal, pengrusakan fasilitas umum sangat tidak diinginkan dalam gerakan aksi massa.
Investigasi yang dilakukan oleh Narasi soal pembakaran halte TransJakarta bisa jadi bukti. Ternyata, pembakaran bukan dilakukan mahasiswa atau buruh, melainkan pihak lain yang sengaja memperkeruh keadaan.
Tak jarang, kericuhan justru dipicu aparat: gas air mata, pentungan, hingga kendaraan taktis yang melindas massa. Beberapa demonstran bahkan terluka parah. Semua ini menambah trauma, apalagi ketika gambarnya beredar di media sosial.
Apa yang bisa dilakukan orangtua saat mendampingi anak pada situasi seperti ini?
Pada situasi seperti ini, wajar jika anak merasa takut. Praktisi homeschooling Aar Sumardiono dalam unggahannya bersama Rumah Inspirasi Indonesia membagikan beberapa langkah yang bisa dilakukan oleh orangtua:
Validasi perasan anak
Sangat wajar jika anak merasa takut. Validasi emosi mereka. Yakinkan mereka tetap aman berama mama dan papa.
Fokus pada hal-hal yang bisa dikendalikan
Sampaikan pada anak, kita tidak bisa mengontrol semua hal yang terjadi di luar rumah. Akan tetapi, kita bisa mengendalikan diri, menjaga keluarga, dan saling menolong.
Jadilah jangkar emosi anak
Saat dunia goyah, anak akan mencari jangkar yang bisa menghadirkan ketenangan dan rasa aman. Itulah peran orangtua. Orangtua harus hadir, tenang, dan bisa diandalkan anak.
Tenangkan diri sendiri dulu
Sebelum bisa menenangkan anak, tenangkan diri dulu. Atur napas, berdoa, dan ngobrol dengan pasangan. Pastikan emosi orangtua stabil supaya bisa membantu anak.
Lakukan kegiatan kecil yang membangun rasa aman
Kegiatan yang bisa membangun koneksi antara orangtua dan anak pentng dilakukan. Misalnya lewat membaca cerita, memasak bersama, bernyanyi, juga berdoa bersama. Koneksi itu akan membangun rasa aman yang besar untuk anak.
Mengobrol dan diskusi
Untuk anak yang lebih besar, ajak mereka ngobrol. Dengarkan sudut pandang mereka, biarkan ia menyampaikan apa yang ia ketahui dan pendapatnya. Jelaskan pula pandangan Mama dengan tenang, ya!
Semai harapan dan empati
Ajari anak untuk melihat banyak orang baik di luar sana. Ceritakan tentang cerita warga saling bantu. Hal ini penting untuk membangun daya tahan psikologis anak di situasi sulit.
Teguhkan nilai kehidupan
Mama bisa menggunakan momentum ini untuk menanamkan nilai-nilai penting kehidupan yang berkaitan dengan peristiwa ini. Misalnya, hidup jujur dan tidak curang, setiap perbuatan ada akibatnya, berani melakukan hal yang benar, tidak melakukan kekerasan, dan lainnya.
Sebagai orangtua, mari kita hadir dengan tenang untuk anak-anak agar bisa melewati situasi ini dengan baik. [*]






