digitalMamaID — Presiden Prabowo Subianto dalam konferensi persnya di Istana menyebutkan, negara tidak akan tinggal diam terhadap segala bentuk tindakan anarkis yang mengarah pada upaya makar dan terorisme. Prabowo bahkan memerintahkan aparat keamanan untuk mengambil tindakan tegas kepada mereka.
Sontak saja pernyataan ini mengejutkan banyak pihak, alih-alih memberikan rasa aman kepada warganya yang marah dan kecewa dalam aksi demonstrasi, Prabowo justru menambah luka baru dengan narasi makar dan terorisme.
“Aparat yang bertugas juga harus menegakkan hukum apabila ada pelanggaran-pelanggaran yang mengancam kehidupan masyarakat luas. Saudara-saudara sekalian, sekali lagi, aspirasi murni yang disampaikan harus dihormati. Hak untuk berkumpul secara damai harus dihormati dan dilindungi. Namun kita tidak dapat dipungkiri bahwa ada gejala tindakan-tindakan melawan hukum, bahkan ada yang mengarah pada makar dan terorisme,” kata Prabowo, dikutip dari kanal resmi pemerintah Sekretariat Presiden pada Minggu, 31 Agustus 2025.
Menurut Prabowo, pemerintahannya menghormati kebebasan berpendapat sesuai United Nations International Covenant on Civil and Political Rights pasal 19 dan Undang-Undang 9 Tahun 1998. Bahwa penyampaian aspirasi harus dilakukan secara damai dan tidak anarkis.
Namun kata dia, jika dalam pelaksanaan unjuk rasa ada aktivitas anarkis, merusak fasilitas umum, sampai adanya korban jiwa, bahkan sampai mengancam dan menjarah rumah-rumah dan instansi-instansi publik, maupun rumah-rumah pribadi, maka hal tersebut merupakan pelanggaran hukum. Karenanya negara akan hadir dan menindak para pelaku.
Memutus jarak
Menurut Koalisi Masyarakat Sipil Anti Kekerasan Seksual (KOMPAKS), tuduhan Prabowo yang menyebut rakyatnya melakukan aksi makar dan terorisme, semakin membuat jurang pemisah antara rakyat dan negara. Tuduhan tersebut bukan hanya memutus jarak negara dengan rakyat, tetapi narasi makar dan terorisme dari Presiden juga dapat mengaburkan aspirasi murni rakyat.
Selain itu, tuduhan makar dan terorisme yang disematkan kepada para demonstran karena dianggap merusak fasilitas umum dan menjarah rumah-rumah anggota dewan hingga menteri tanpa adanya penyidikan adalah keliru. Bukti-bukti telah tersebar di media sosial siapa yang bertanggung jawab.
“Statement Presiden yang mengatakan bahwa masyarakat sudah menunjukkan kemungkinan melakukan makar dan terorisme, pada kenyataannya yang kita lihat di sosial media, yang melakukan penjarahan ke rumah-rumah DPR Menteri adalah provokator, itu bukan masa aksi sipil, mereka adalah oknum. Ini adalah kekhawatiran yang besar seakan-akan rakyat mencoba melakukan kemarahan dengan cara kekerasan padahal itu bukan rakyat tapi ada oknum yang mengatasnamakan rakyat membuat makar dan kegiatan terorisme,” ujar Nabila dari Koalisi Masyarakat Sipil Anti Kekerasan Seksual (KOMPAKS).
Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, mengatakan melabeli aksi demonstrasi masyarakat dengan tuduhan makar maupun terorisme sangatlah berlebihan. Apalagi jika terus menerus disampaikan dengan narasi ‘campur tangan asing’ dan ‘adu domba’ saat masyarakat sedang berdemonstrasi menyuarakan aspirasi terkait kebijakan pemerintah yang bermasalah. Pernyataan presiden ini, menurut Usman, tidak sensitif terhadap segala keluhan dan aspirasi yang masyarakat suarakan dalam aksi demonstrasi.
“Aksi demonstrasi damai bukanlah tindakan makar maupun terorisme,” tegas Usman dalam siaran persnya.
“Penegak hukum mempunyai wewenang untuk menindak setiap tindak pidana yang terjadi di lapangan namun perlu kami ingatkan juga agar segala tindakan yang diambil harus sesuai dengan prinsip proporsionalitas, nesesitas dan legalitas yang berlandaskan nilai-nilai HAM. Negara tidak boleh menggunakan cara-cara yang melanggar HAM bahkan dalam merespons suatu tindak pidana sekalipun. Ada koridor yang telah ditetapkan dan aparat wajib mematuhi prinsip-prinsip HAM dalam mengamankan aksi demonstrasi,” tambahnya.
Termasuk munculnya instruksi Presiden kepada Kapolri dan Panglima TNI untuk mengambil langkah tegas yang kemudian dilanjutkan ke dalam kebijakan “tembak di tempat” kepada pengunjuk rasa yang dicap sebagai “anarkis” merupakan hal yang patut disesalkan.
Negara, kata dia, seharusnya merespons tuntutan dari berbagai kelompok rakyat dengan rangkaian perubahan kebijakan menyeluruh. Misalnya, membenahi kebijakan makan bergizi gratis, Danantara, Proyek Strategis Nasional hingga kebijakan tunjangan anggota parlemen yang dinilai tidak adil bagi rakyat.
Negara juga seharusnya melakukan evaluasi serius atas pengamanan aksi demonstrasi sekaligus mengusut dan mengadili semua aparat keamanan yang bertanggung jawab atas penggunaan kekuatan berlebihan. Dari mulai pemukulan, penangkapan sewenang-wenang, sampai dan penggunaan kendaraan yang melindas Affan Kurniawan sampai tewas.
“Setidaknya, negara harus melakukan sebuah investigasi yang independen dan terpercaya. Bukan hanya memberi sanksi ringan secara internal dan memilih memperkuat narasi yang menyudutkan masyarakat dengan terminologi anarkis. Pilihan kebijakan ini hanya menambah luka dan memperlebar jarak antara rakyat dengan negara,” ungkapnya.
Tidak sensitif
Pengamat Terorisme, Harits Abu Ulya mengaku terusik saat mendengar pernyataan Presiden soal diksi makar dan terorisme atas fenomena demonstrasi yang berlangsung beberapa hari ini. Harits menilai, Presiden terkesan tidak bisa menangkap atau gagal paham atas tuntutan para demonstran di lapangan.
Menurutnya, respons Presiden tidak menyasar pada persoalan fundamental dengan memadamkan ‘bara dan api’ dari segunung ‘sekam’ persoalan terkait keadilan bagi rakyat, perlunya evaluasi institusi aparat penegak hukum, kebijakan yang memberatkan rakyat, integritas moralitas oknum pembantu presiden yang kerap membuat pernyataan dan kebijakan blunder, UU perampasan aset koruptor, dan sebagainya. Presiden justru membaca aksi demo sebagai gejala Makar dan terorisme.
“Menurut pendapat saya ini sangat serius sebagai pengaburan atas problem substansial sesungguhnya dan menunjukkan lemahnya sensitivitas respon tuntutan masyarakat sipil,” kata Harits.
“Entah bisikan intelijen siapa kepada Presiden, atau mungkin Presiden melakukan ijtihad seketika saat menyampaikan sikap soal makar dan terorisme, namun yang pasti telah memantik respon publik untuk menilai itu adalah sikap mbagong Presiden. Dan itu terjadi dalam situasi negara yang butuh kecerdasan pemimpin untuk bisa membaca dan memilah antara akar dan ranting masalah,” sambungnya.
Dan secara rasional tentu idealnya Presiden prioritaskan solusi pada akar masalah. Bukan stag hanya merespon soal kemewahan hidup privilege anggota DPR, oknum anggota DPR yang busuk sikap dan lisannya, janji mendengar aspirasi. Justru memberikan legitimasi tongkat bagi aparat keamanan Polri dan TNI untuk lebih keras memukul masyarakat sipil dengan alibi anarkisme, penjarahan dan yang lebih ngeri adalah asumsi adanya indikasi aksi makar dan terorisme.
“Kita yang waras dan beragama tentu tidak setuju dengan perbuatan kriminal apapun bentuknya termasuk penjarahan harta orang lain atau harta rakyat, karena itu haram mutlak. Tapi kita juga tidak boleh bombastis menstigma aksi penjarahan atau anarkisme yang dilakukan oleh gerombolan kriminal sipil sebagai kejahatan yang ekstra ordinary. Jangan lupa bagaimana pejabat-pejabat korup yang merampok harta rakyat, merampas tanah rakyat, kebijakan-kebijakan yang mencekik rakyat dan kebijakan destruksi lainnya yang lebih pantas dilabeli sebagai kejahatan ekstra ordinary,” tegas Harits.
Maka diksi makar dan terorisme adalah logika over simplikasi yang sifatnya sangat asumtif, cenderung mengaburkan pokok persoalan dan menunjukkan bebalnya telinga penguasa atas jeritan rakyat yang menuntut keadilan dalam berbagai aspek kehidupan mereka.
“Semoga Presiden Prabowo menjadi sosok yang bisa mewujudkan itu, dan lebih dari cukup ‘omon-omon’ Presiden dari podium, forum dan banyak kesempatan soal memimpin demi rakyat dan negara, saatnya membuktikan itu semua, atau kalau tidak maka hanya akan menoreh sejarah yang berjudul Paradoks Prabowo Presiden RI-8,” kata Harits. [*]