digitalMamaID — Duka cita dan awan kelabu mewarnai langit Indonesia, seruan hentikan kekerasan membumi hingga ke pelosok negeri. Tergabung dalam Jaringan Perempuan Jaga Indonesia, para perempuan ini meminta Presiden RI Prabowo Subianto untuk menghentikan tindakan represif aparat terhadap demonstran saat melakukan aksi unjuk rasa.
Perempuan Jaga Indonesia juga menyatakan duka mendalam terhadap korban meninggal dan korban luka dalam aksi demonstrasi di berbagai wilayah di Indonesia sejak 25 Agustus sampai saat ini, antara lain ojek online Affan Kurniawan, staf DPRD Makasar Sarinawati, Saiful Akbar, Rheza Sendy, Sumari, Rusmadiansyah, dan Budi Haryadi.
“Mereka adalah rakyat Indonesia yang bekerja dan memiliki hak yang sama dengan seluruh warga negara Indonesia,” kata Zoemrotin K. Susilo, salah satu tokoh Perempuan Jaga Indonesia yang juga Wakil Ketua Komnas HAM periode 2002–2007.
Dalam konferensi pers di akun YouTube Asosiasi LBH APIK Indonesia, Minggu, 31 Agustus 2025, Zoemrotin juga menyerukan agar Presiden RI Prabowo Subianto menghentikan penggunaan kekerasan dalam pengamanan selama aksi unjuk rasa. Negara kata dia, harus hadir memberikan rasa aman, dan melindungi rakyat selama aksi unjuk rasa berlangsung bukan justru memerintahkan aparat mengusir massa aksi dengan gas airmata.
Melihat begitu banyaknya korban yang gugur dan luka-luka dalam aksi unjuk rasa, ia menegaskan JPI tidak bisa berdiam diri ketika melihat sesama perempuan, anak kecil, keluarga, dan rakyat terus menjadi korban. Bahkan orang sakit dan ibu hamil kesulitan mengakses layanan kesehatan karena kondisi yang membahayakan keselamatan.
Ia menyerukan enam tuntutan kepada Presiden RI dan Ketua legislatif. Antara lain menghentikan penggunaan kekerasan dalam pengamanan, memulihkan rasa aman masyarakat, melindungi kelompok rentan di tengah situasi kekacauan, menjamin hak warga untuk berekspresi dan menyampaikan pendapat, membuka ruang dialog dengan rakyat, dan terakhir memastikan tidak ada kekerasan berbasis gender selama penyampaian aspirasi.
Tidak mampu mewakili rakyat
Menurut Sekretaris Jenderal KPI untuk Keadilan dan Demokrasi (1998-2004), Nursyahbani Katjasungkana, apa yang dilakukan masyarakat hari ini hanyalah puncak kecil karena tidak adanya ruang dialog, dan ketidakadilan sosial, serta kebijakan publik yang kerap diputuskan dalam ruang tertutup dan mengabaikan kelompok kecil. Inilah yang kemudian menjadi akar dari kemarahan rakyat hari ini.
Demonstrasi beberapa hari terakhir ini yang menjadi sasaran utama adalah para wakil rakyat (DPR), karena dinilai abai dan tidak mampu mewakili kepentingan rakyat. Namun kemudian, kepolisian yang bertugas menjamin rasa aman selama berunjuk rasa berbalik badan menjadi alat penguasa, menjadi tameng mereka dan memukul mundur massa.
“Kita tahu sasaran utamanya DPR yang selama ini abai tidak mampu mewakili kepentingan rakyat, dan kepolisian yang justru bukan menjaga ketertiban, menjaga hak-hak konstitusional rakyat tapi justru menjadi alat kekuasaan,” kata Nursyahbani.
Nabila dari Koalisi Masyarakat Sipil Anti Kekerasan Seksual (KOMPAKS) menyebutkan, kemarahan masyarakat atas sikap dari nirempati yang dimiliki oleh jajaran DPR, Polri, TNI, termasuk Presiden dan seluruh ketua umum partai saat konferensi pers di istana pada Minggu ((31/8/2025) saat menyikapi aksi demonstrasi sangat disayangkan.
“Kami menyayangkan atas sikap-sikap brutal yang dilakukan negara dalam merespon kemarahan masyarakat, padahal kemarahan masyarakat sangat jelas bagian dari akumulasi atas situasi yang akhir-akhir ini sangat parah dan semakin diperparah dengan adanya pembatasan sosial media, penggunaan live tiktok, live instagram, YouTube yang kemudian dibom dengan komentar-komentar judi online agar kebebasan kita beraspirasi menjadi lebih sedikit,” kata Nabila.
Apa yang dilakukan negara, seolah membatasi masyarakat. Aksi demonstrasi dipukul mundur dengan gas airmata, difitnah membakar fasilitas umum dan menjarah rumah anggota dewan, memblokir live media sosial, hingga tuduhan makar dan terorisme.
“Salah satu statemen Presiden mengatakan, masyarakat sudah menunjukkan kemungkinan melakukan makar dan terorisme pada kenyataannya kita lihat di sosial media yang melakukan penjarahan ke rumah-rumah DPR, yang melakukan provokator, itu bukan masyarakat sipil, mereka adalah oknum yang mengatasnamakan rakyat membuat makar dan kegiatan terorisme,” ungkapnya.

Negara, sambungnya, seolah memframing bahwa peserta aksi mencoba menghancurkan negara dengan tuduhan-tuduhan yang kini semakin dialamatkan kepada peserta aksi.
“Kita yang sekarang melakukan aspirasi tapi seolah kita yang dianggap mencoba menghancurkan negara. Seharusnya negara yang melindungi kami, aparat yang melindungi rakyat bukan kebalikannya. Seolah kita pelaku kejahatan di balik ini semua,” kata Nabila.
Diungkapkan juga oleh Dewan Pimpinan Pusat Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (DPP GMNI) Fanda Puspitasari, protes rakyat hari ini adalah akibat tindakan sewenang-wenang yang dilakukan oleh para eksekutif, yudikatif dan legislatif, mulai dari kinerja, kesenjangan gaji, bahkan nirempati yang kemudian menjadi praktek keseharian para elit pejabat di negara kita.
Belum lagi hedonisme dan flexing yang terus menerus dipertontonkan kepada rakyat, sementara rakyat sendiri begitu kesulitan untuk memikirkan besok akan makan apa.
“Harusnya adalah bagaimana negara merespon ini. Tapi Negara justru melakukan tindakan-tindakan resistensi, melakukan berbagai bentuk kekerasan,” ujar Fanda.
Negara melakukan tindakan anarkis
Selama ini negara selalu mengalamatkan masyarakat melakukan tindakan anarkis, padahal dalam kaca matanya, negara yang justru melakukan tindakan anarkis pada rakyatnya. Mulai dari perampasan lahan, perbuatan sewenang-wenang pada masyarakat adat, korupsi, termasuk puncaknya eskalasi demo pada hari ini, bagaimana represi itu dilakukan oleh negara.
“Menurut kami, sejauh ini Indonesia selalu menjalankan dark system, sistem ini selalu memunculkan ketidakadilan, oligarki, dinasti politik, korupsi dan bentuk tindakan represif yang kemudian dibalut dalam dark system, efeknya sangat domino, traumatik bagi bangsa kita, dan ini berpuluh-puluh tahun dialami rakyat,” tutur Fanda.
Karenanya, barisan mahasiswa menuntut perlunya ada perubahan dari dark system menjadi fire system, yang dibangun di atas keberpihakan pada rakyat dan ini harus diterapkan kepada seluruh lembaga negara, baik itu dalam lingkup legislatif, eksekutif, yudikatif, termasuk dalam jajaran kepolisian harus direvolusi bukan hanya struktural tapi juga revolusi kultural.
“Yang menjadi poin penting bagaimana Indonesia melalui tragedi hari ini harus shifting identitas, bagaimana kita mengubah Indonesia dari dark sistem menuju fair sistem. Menghapus feodalisme, politik dinasti, oligarki dan kroninya dan menghapus relasi kuasa, karena kami anak muda kami butuh legasi yang beradab dari negara,” kata Fanda. [*]






