Larangan Live Streaming Saat Demonstrasi Langgar Hak Publik

Netizen tetap melakukan siaran langsung lewat sosial media meski ada larangan live streaming dari kepolisian.
Share

LangdigitalMamaID — Aksi unjuk rasa massa yang terdiri dari mahasiswa, buruh, dan masyarakat sipil beberapa hari ini menyedot perhatian publik. Bukan hanya menyentuh isu kesenjangan yang terjadi, aksi kali ini dinilai menjadi representasi keresahan bersama. Akan tetapi, aparat justru membuat larangan siaran langsung (live streaming) saat unjuk rasa.

Mereka beralasan kebijakan ini diterapkan demi menjaga keamanan dan mencegah potensi provokasi di lapangan. Namun, masyarakat menilai larangan tersebut justru membatasi kebebasan berekspresi. Hak masyarakat untuk mendapatkan informasi yang jujur dan transparan mengenai jalannya aksi.

Soal keamanan atau mengendalikan publik?

Larangan live streaming atau siaran langsung melalui media sosial, terutama TikTok ini dikeluarkan oleh Polda Metro Jaya. Langkah itu terkait aksi unjuk rasa buruh di gedung DPR/MPR pada Kamis, 28 Agustus 2025.

Larangan ini juga diberlakukan setelah muncul modus baru oknum yang memanfaatkan kerumunan unjuk rasa untuk menyebar provokasi atau meraih keuntungan pribadi melalui gift virtual dari penonton.

“Kami berharap tidak terjadi lagi ajakan kepada masyarakat untuk aksi melalui live TikTok. Metode ini rawan disalahgunakan,” ujar Kabid Humas Polda Metro Jaya, Kombes Ade Ary Syam Indradi dikutip dari Jawa Pos.

Polisi menilai live streaming berpotensi memancing kericuhan, terlebih ketika mengajak pelajar ikut turun ke jalan. Tim Siber Polda Metro pun akan meningkatkan patroli digital selama demo berlangsung, dan siap menindak tegas konten yang dinilai provokatif.

Kebijakan Polda Metro Jaya ini juga sejalan dengan langkah Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) yang telah memanggil perwakilan TikTok dan Meta pada Selasa lalu. Pemerintah mengingatkan bahwa konten provokatif di media sosial berperan dalam menyulut ketegangan dalam berbagai aksi unjuk rasa, serta dapat merusak sendi-sendi demokrasi.

Menurut Polda, dalam demo sebelumnya, sebanyak 196 pelajar diamankan karena ikut unjuk rasa di luar jam belajar, diduga akibat terpancing oleh siaran langsung yang beredar di TikTok.

Menanggapi hal tersebut, jurnalis senior Najwa Shihab menyebut bahwa kekhawatiran aparat terhadap pelajar yang ikut demo karena tergiur hadiah virtual memang masuk akal karena, pelajar bisa dijadikan sebagai ‘massa instan’ dan paling rentan menjadi korban saat terjadi kericuhan.

Menurutnya, merekam dan menyiarkan aksi unjuk rasa secara langsung justru menjadi salah satu cara paling efektif untuk memastikan tidak terjadi kesewenang-wenangan oleh aparat. “Dalam demokrasi, unjuk rasa bukan hanya soal siapa yang berteriak di jalan tapi, juga soal bagaimana negara, lewat aparat, memperlakukan warganya dengan adil dan manusiawi,” ungkap Najwa dalam sumber yang sama.

Merusak kualitas demokrasi

Direktur Eksekutif Lima Indonesia Ray Rangkuti menilai, larangan live streaming melalui media sosial sebagai langkah yang tidak berdasar dan berpotensi merusak kualitas demokrasi.

“Saya tidak melihat ada alasan yang kuat pelarangan live demo melalui media sosial oleh pihak kepolisian. Baik secara sosial, hukum dan prinsip negara demokrasi. Justru sebaliknya, larangan itu berpotensi menurunkan lagi kualiatas demokrasi karena potensial mengabaikan hak asasi warga negara,” ujarnya dalam keterangan tertulis.

Polisi menyebut pelarangan itu setidaknya karena dua alasan. Pertama, mencari keuntungan pribadi dari pemberian gift. Kedua, dapat berpotensi menimbulkan provokasi.

Dua sebab ini menurutnya, sangat lemah dijadikan sebagai dasar merenggus hak asasi warga negara untuk melakukan aktivitas yang tidak melanggar aturan yang berlaku. “Merenggus hak warga hanya bisa dilakukan jika tindakan itu melanggar aturan atau sangat potensial menimbulkan kegaduhan. Jadi tidak bisa semata berdasar keputusan polisi. Apalagi hanya keputusan kapolda, misalnya,” jelasnya.

Menurut Ray, ada dua hak warga yang dijamin potensial terlanggar dari putusan kepolisian ini. Hak untuk menyampaikan dan mendapatkan informasi dan hak untuk berusaha. Kedua hak ini, jelas dijamin oleh konstitusi.

“Jika disebutkan dapat mengundang provokasi, terasa terlalu mengada-ada. Sebab, polisi tidak menyebut contoh nyata dari satu siaran live demonstrasi yang mengundang provokasi. Dan kedua, apa makna provokasi yang dimaksudkan oleh polisi. Penyebutan mengandung provokasi ini sangat abu-abu. Maka sesuatu yang bersifat abu-abu tidak dapat dijadikan sebagai dasar untuk membatasi hak warga negara,” terangnya.

“Oleh karena itu, saya berharap polisi bisa profesional, dialogis dan humanis menghadapi aksi demontrasi yang terjadi, baik hari ini, maupun kapan waktu. Jangan sampai cara, pandangan dan keputusan polisi akan berdampak pada kualitas demokrasi kita. Dan dengan sendirinya berdampak pada citra pemerintahan Prabowo,” pungkasnya.

Beberapa jam sebelum tragedi pengemudi ojol dilindas rantis, di forum Indonesia Summit, Najwa Shihab sempat menyampaikan, rekaman publik bukanlah ancaman, tapi cermin. Alat pengawas paling jujur agar tindakan aparat bisa terlihat terang-terangan. Rekaman viral semalam membuktikannya. [*]

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Terpopuler

ORDER MERCHANDISE

Bingung cari konten yang aman untuk anak?
 
Dapatkan rekomendasi menarik dan berikan pendapatmu di Screen Score!
Ilustrasi melatih anak bicara/Bukbis Ismet Candra Bey/digitalMamaID