digitalMama – Belakangan ini lagi banyak banget event lari yang digelar di kota-kota besar. Kalau Mama pernah ikut, pasti Mama sudah tidak asing lagi dengan jepretan street photographer di sepanjang rute lari. Hasil jepretan foto-foto ini nantinya bisa ditebus lewat akun-akun media sosial mereka atau lebih praktis melalui aplikasi FotoYu.
FotoYu merupakan platform marketplace dokumentasi personal, dengan teknologi AI, yang mempertemukan fotografer dengan penggunanya. FotoYu bekerja dengan mengumpulkan biometrik wajah dan lokasi pengguna lewat fitur facial recognition.
Di awal pengguna akan diminta merekam wajah tampak depan dan samping. Setelahnya AI akan mencari wajah yang identik. Jika ada kecocokan, pengguna akan diberi notifikasi dan bisa langsung melihat kemudian ditambahkan ke keranjang dan dibeli dalam format digital dengan harga yang sudah ditentukan fotografer.
Momen olahraga jadi banyak yang mendokumentasikan dengan kualitas yang bagus. Seru, ya? Tapi, apakah ini aman dan sudah sesuai dengan consent kita?
Disha (33), pelari yang sudah beberapa kali ikut event lari seperti fun run, trail run atau long run mengaku menggunakan dan pernah membeli beberapa foto dari FotoYu. Namun, ia tak pernah memikirkan tentang keamanannya sejauh itu dan bagaimana nasib akhir fotonya yang lain. “Aku nggak nyampe mikir ke sana sih, tapi insyaallah nggak akan (disalahgunakan) ya,” tuturnya saat dihubungi digitalMama, Kamis, 21 Agustus 2025.
Menurut Disha, sejauh ini ia tak pernah risih dengan jepretan street photographer seperti FotoYu. “Emang aku doyan difoto juga apalagi hasilnya bagus, malah makin semangat larinya,” lanjutnya.
Serupa dengan Disha, Yudha (33), pelari, ia juga merasa senang karena ada jasa yang mau mengabadikan momen olahraganya. Ia pun rela mengeluarkan paling tidak Rp200 ribu untuk budget membeli foto.
Yudha pun yakin sepenuhnya dengan keamanan FotoYu. “Minim kekhawatiran sih karena fotografer juga butuh effort storage untuk menyimpan foto-foto para pelari,” katanya.
Mengenai foto-fotonya yang lain yang tidak sempat ia beli, Yudha pun positif tidak akan disalahgunakan. “Setelah event dalam beberapa waktu tertentu foto tersebut akan auto di-delete oleh fotografer,” sambungnya.
Sebetulnya, tidak ditemukan keterangan secara eksplisit dalam dokumen Ketentuan Penggunaan maupun Kebijakan Privasi FotoYu mengenai apa yang terjadi pada foto yang tidak dibeli oleh pengguna, apakah disimpan, dihapus atau diarsip.
FotoYu tidak menyebutkan batas penyimpanan atau penghapusan otomatis foto yang tidak laku dibeli. Foto tetap tersimpan di server FotoYu, kecuali dihapus manual oleh pengguna atau dihapus otomatis oleh RoboYu (jika hanya ada wajah pengguna sendiri). Jika non-pengguna ingin menghapus foto yang ‘kebetulan tersimpan’ di server, ia harus membuat akun FotoYu, lengkap dengan menyetorkan data biometrik wajah ke platform tersebut.
Ancaman privasi
Maraknya pengguna FotoYu, tak lepas dari meningkatnya kebutuhan masyarakat yang ingin membagikan pengalaman olahraga mereka di platform seperti Instagram atau Strava. Foto-foto berkualitas tinggi dari FotoYu akan meningkatkan engagement mereka dengan komunitas dan teman-teman. Namun, di sisi lain ada keresahan terkait privasi subyek foto dan juga keamanan data pribadi.
Pegiat literasi dari Masyarakat Anti Fitnah dan Hoaks (Mafindo) Erwina Tri dalam diskusi publik “Marketplace Fotografi dan Hak Privasi di Ruang Publik” di Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret (UNS) menjelaskan, penggunaan FotoYu sebenarnya sangat mudah. Pengguna cukup menekan tombol ‘Ya’ jika foto tersebut memang dirinya, atau tombol ‘Bukan’ jika bukan. Setelah pengguna melakukan pembayaran, foto beresolusi tinggi akan segera dikirim.
Namun menurutnya, ada celah yang cukup mengkhawatirkan. “Yang menurut saya masalah, ternyata pengguna bisa dengan mudah membeli foto yang bukan dirinya,” kata Erwina dikutip dari Joglo Semar.
Pada Cara Kerja Fotoyu memang disebutkan bahwa secara etis, ‘pengguna hanya mengonfirmasi jika foto itu benar-benar kamu, dan menolak foto yang bukan kamu’. Namun dalam praktiknya rentan disalahgunakan. Untuk eksperimen, bahkan Erwina mencoba membeli foto yang bukan wajahnya dan ternyata berhasil.
Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah, Niken Satyawati, dalam diskusi menilai FotoYu sebagai fenomena media baru yang menarik. Menurutnya, aplikasi ini memfasilitasi interaksi langsung antara fotografer dan masyarakat dalam sebuah platform.
“FotoYu memberi ruang bagi pelari untuk tampil di media sosial dengan foto-foto berkualitas, sekaligus membuka peluang bagi fotografer untuk mencari cuan,” ujar Niken.
Meski begitu, Niken mengingatkan adanya potensi persoalan. “Tidak bisa dipungkiri ada orang-orang yang tidak senang difoto di area publik. Di situlah letak potensi masalahnya,” lanjutnya.
Serupa, Direktur SAFEnet Nenden Sekar Arum dalam wawancaranya dengan Magdalene menjelaskan, berada di ruang publik bukan berarti seseorang memberikan consent untuk difoto atau disebarluaskan. Walaupun memberikan consent bukan berarti juga aman sepenuhnya. Subjek foto tetap berada dalam posisi rentan terhadap segala bentuk penyalahgunaan, baik oleh fotografer maupun platform yang mengarsipkan ribuan data visual.
“Penyimpanan ini membuat subyek foto rentan dimanipulasi, diseksualisasi, hingga menjadi korban Kekerasan Berbasis Gender Online (KBGO). Dalam sistem seperti ini, tubuh bukan lagi sekadar terekam tapi dikomodifikasi. Ia dipindahkan dari ruang publik ke ranah digital yang jauh lebih sulit dilacak dan dipertanggungjawabkan,” jelasnya.
Potensi masalah hukum
Dosen Fakultas Hukum sekaligus anggota Peergroup P3KHAM LPPM UNS Adriana Grahani Firdausy melihat fenomena ini dari sisi hukum. Ia menekankan, meski fotografer bekerja di area publik, hal itu tidak serta-merta membuat mereka bebas mengabaikan kenyamanan orang lain.
“Hak pribadi atau privacy right adalah hak yang melekat pada setiap individu. Setiap orang berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi. Artinya, ketika seseorang merasa terganggu dengan kehadiran fotografer di area publik, bisa jadi ada indikasi privasi yang dilanggar,” jelas Adriana.
Lebih jauh, ia menekankan, sebuah foto pada dasarnya termasuk data pribadi. “Jika foto dapat dibeli oleh orang lain yang bukan pemilik wajah, ini patut diwaspadai. Ke depan, bisa saja muncul masalah hukum yang menjerat fotografer akibat penyalahgunaan data pribadi,” tambahnya.
Dilansir dari Tirto.id, Seharusnya, hak privasi membuat kita punya kuasa atas segala informasi pribadi yang hendak kita bagikan kepada pihak lain. Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi mengadopsi hak tersebut.
Namun, dalam realitas yang kita alami bersama, ada begitu banyak celah data pribadi kita yang dapat diambil oleh pihak lain tanpa sepengetahuan kita.
Keresahan ini bukan tanpa alasan karena pada 2019 lalu, aplikasi penyimpanan awan khusus foto, Ever, menjadi perhatian publik Amerika Serikat terkait pengembangan AI. Kala itu, Ever diduga menggunakan seluruh foto pengguna yang tersimpan dalam server sebagai dataset pengembangan fitur pengenalan wajah berbasis AI. Oleh Ever, teknologi face recognition tersebut disewakan kepada instansi dan perusahaan lain, salah satunya adalah militer. Dataset foto para pengguna Ever diduga digunakan oleh perusahaan tersebut untuk melatih AI yang kemudian menjadi alat pelacak militer.
Fenomena FotoYu menunjukkan, di balik kemudahan teknologi juga hadir berbarengan dengan risikonya. Aplikasi ini memang membantu pelari mengabadikan momen, juga memberi peluang bagi fotografer mencari penghasilan. Tapi tanpa aturan yang jelas soal consent dan pengelolaan data, foto wajah kita bisa saja berakhir di ruang digital yang tidak bisa kita kendalikan. [*]