80 Tahun Indonesia Merdeka: Transfer Data Pribadi ke AS, Menguji Kedaulatan Digital Indonesia

Ilustrasi transfer data pribadi/Juststock/Getty Images
Share

digitalMamaID – Menjelang 17 Agustus, kita diingatkan bahwa kemerdekaan tak hanya soal bebas dari penjajahan fisik. Soal pemerintah Indonesia mengizinkan transfer data pribadi warganya ke Amerika Serikat (AS) menjadi bukti bahwa kendali asing kini hadir dalam bentuk baru. Kebijakan yang menjadi bagian dari perjanjian perdagangan timbal balik ini memantik perdebatan, terutama soal keamanan dan kedaulatan data.

Baru-baru ini, Indonesia menyepakati rencana untuk mentransfer data pribadi warganya ke Amerika Serikat (AS) sebagai bagian dari perjanjian perdagangan timbal balik. Kebijakan ini menuai kritik karena menyangkut privasi jutaan orang. Apalagi, standar perlindungan data di AS dinilai tidak seketat Uni Eropa.

Desy (33) tegas menolak kesepakatan tersebut. “Nggak setuju, karena tahu kan agenda Amerika,” ujarnya pada digitalMama Rabu, 13 Agustus 2025. Ia menilai pemerintah bukannya melindungi data rakyat, malah membagi-bagikannya ke pihak asing. Apalagi, sejak zaman E-KTP hingga aplikasi PeduliLindungi, sudah banyak kebocoran data yang tak pernah ditangani serius.

“Pemerintah tuh NPD ya, memvalidasi diri sendiri, kayak ‘keren nih’. Dibalut gitu, seolah-olah nggak menjajah kita, padahal mah dijajah,” lanjut Desy.

Senada dengannya, Resti (33) juga geram. “Data sebagai warga, keuangan, kayak udah nggak ada harga dirinya banget. RIP privasi,” katanya, Senin 11 Agustus 2025.

Isu ini mencuat setelah laman resmi White House pada 22 Juli 2025 merilis Joint Statement on Framework for United States-Indonesia Agreement on Reciprocal Trade dan Fact Sheet: The United States and Indonesia Reach Historic Trade Deal. Di dalamnya tercantum, Indonesia akan memberikan kepastian hukum terkait kemampuan mentransfer data pribadi ke AS. Indonesia juga akan mengakui bahwa AS memiliki perlindungan data yang memadai (adequate) menurut hukum Indonesia.

Tiga masalah dalam perjanjian

Menurut Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) dalam siaran pers 23 Juli 2025, reformasi kebijakan ini telah lama diadvokasi oleh perusahaan-perusahaan AS dan dipandang sebagai kemenangan besar bagi pemerintah AS, eksportir, dan pelaku inovasi digital.

ELSAM menyoroti beberapa masalah. Pertama, perjanjian ini timpang. Idealnya, perjanjian perdagangan membangun konvergensi regulasi dengan mengadopsi standar tertinggi salah satu mitra. Namun, sistem hukum dan nilai-nilai kedua negara berbeda jauh, sehingga pengakuan bersama atas perlindungan privasi dinilai nyaris mustahil.

Kedua, ancaman pemantauan massal (mass surveillance) oleh AS. Pasal 702 dari Foreign Intelligence Surveillance Act (FISA) memberi kewenangan pemerintah AS mengakses komunikasi pihak asing di luar yurisdiksi teritorialnya. Hal ini menimbulkan kekhawatiran karena data akan tersimpan di infrastruktur digital berbasis AS.

Kasus serupa pernah terjadi pada mekanisme EU-US Privacy Shield. Aktivis privasi Austria, Maximilian Schrems, menggugat Facebook karena pemindahan data ke server di AS membuka potensi akses badan intelijen AS. Pada 2020, Mahkamah Eropa membatalkan kerangka Privacy Shield melalui putusan Schrems II, dengan dampak besar terhadap perlindungan data pribadi warga Uni Eropa.

Ketiga, masalah kesetaraan dengan AS dan ancaman terhadap integritas data warga. Perlindungan data di AS jauh di bawah standar praktik terbaik. Negeri itu tidak menganggap privasi sebagai hak fundamental, hanya melindungi data secara sektoral terbatas.

Indonesia sudah memiliki Undang-Undang Pelindungan Data Pribadi (UU PDP) yang mewajibkan transfer data ke luar negeri hanya jika negara penerima punya perlindungan setara atau lebih tinggi. Jika tidak, harus ada mekanisme perlindungan tambahan dan izin dari otoritas PDP yang sayangnya belum terbentuk.

Saat ini, regulasi Indonesia masih terfragmentasi karena tiap sektor (energi, keuangan, pertahanan, dan lainnya) memiliki aturan sendiri. Kesepakatan dengan AS berpotensi menghapus sebagian aturan lokalisasi data, sehingga data warga lebih mudah ditransfer ke luar negeri, melemahkan pengawasan, dan meningkatkan risiko kebocoran atau penyalahgunaan.

Jawaban pemerintah

Dilansir BBC, Menko Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan kesepakatan ini masih dirundingkan, dan pemerintah akan menyusun mekanisme perlindungan transfer data pribadi ke AS.

“Tidak ada pemerintah mempertukarkan data secara government to government, tapi akan diatur bagaimana perusahaan AS memperoleh data yang mendapat konsen dari masing-masing pribadi,” ujarnya, 24 Juli 2025 di Jakarta.

Juru Bicara Kemenko Perekonomian, Haryo Limanseto, menyebut data yang dimaksud adalah data komersial, bukan data pribadi atau strategis negara. Namun, Airlangga sendiri menyatakan bahwa sebagian data pribadi sudah dibagikan perorangan saat mendaftar perangkat atau aplikasi, sehingga perlu diatur protokolnya.

“Beberapa data pribadi kan merupakan praktik dari masyarakat saat daftar di Google, Bing, e-commerce, dan lainnya. Saat membuat email atau akun, itu kan unggah data sendiri. Data-data ini tentu data pribadi,” kata Airlangga. “Kesepakatan Indonesia dan Amerika adalah membuat protokol untuk itu,” sambungnya.

Data pribadi vs komersial

Peneliti ELSAM, Nurul Izmi, menilai pemerintah tidak terbuka soal jenis data yang akan ditransfer ke AS. Ia menilai ini akan menjadi tantangan untuk mengklasifikasikan data yang boleh dibawa keluar yurisdiksi.

Pendiri Indonesia Cyber Security Forum, Ardi Sutedja, mempertanyakan istilah “data komersial” yang tidak ada dalam UU PDP. Menurutnya, jika data komersial yang dimaksud terkait penggunaan Google atau AI, tidak perlu perjanjian dagang seperti ini.

“Kalau bicara transfer data (cross-border) artinya itu data pribadi masyarakat, data nasabah, data customer yang berinteraksi dengan perusahaan-perusahaan Amerika. Yang sudah pasti itu data pribadi, bukan data komersial,” pungkasnya. [*]

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Terpopuler

ORDER MERCHANDISE

Bingung cari konten yang aman untuk anak?
 
Dapatkan rekomendasi menarik dan berikan pendapatmu di Screen Score!
Ilustrasi melatih anak bicara/Bukbis Ismet Candra Bey/digitalMamaID