Setiap pencapaian kehidupan akan menimbulkan kecemasan baru. Kurang lebih seperti ini kata Paul Coelho dalam bukunya berjudul Hype yang saya baca hasil dari pinjam buku di Perpustakaan Northcote, Darebin Library, Melbourne. Perpustakaan ini agak jauh dari tempat biasanya saya meminjam buku yang jaraknya hanya 1 Km dari rumah. Jarak 1 Km biasanya saya tempuh kurang lebih sekitar 20 menit.
Jalan kaki begitu berat buat saya yang lahir dan besar di Jakarta. Baru sadar saya tidak punya kemampuan untuk hal sesederhana ini. Saya baru mengakrabi jalan kaki sejak pindah ke Melbourne tahun 2023 untuk mendampingi suami yang mendapatkan beasiswa S3.
Kota Melbourne secara administrasi di bawah pemerintahan negara bagian Victoria. Sistem transportasi umum Kota Melbourne meliputi tram, kereta dan bis terintegerasi dengan baik dan mudah diakses oleh pejalan kaki. Ini sangat memudahkan warga mencapai tujuan atau lokasi yang diinginkan. Sepertinya jarak antar stasiun dan jarak dengan halte bis dan tram berikutnya sudah diperhitungkan sesuai dengan kebutuhan jalan kaki harian.
Sebagian besar warga Melbourne familiar dengan jalan kaki. Menurut data dari Victoria Walk, komisi jalan kaki negara bagian Victoria, rata-rata warga per hari berjalan kaki selama 26 menit ke pemberhentian transportasi publik. Ditambah 6 menit untuk tujuan lainnya. Dari awal fasilitas jalur khusus pejalan kaki sudah dibuat seinklusi mungkin untuk para pejalan kaki termasuk yang memiliki kebutuhan khusus, ibu hamil, anak-anak, juga lansia. Jarang sekali ada pembongkaran atau galian di sekitar pedestrian atau di jalur khusus pejalan kaki dan sepeda. Pemerintah setempat mendorong warganya untuk berjalan kaki sebagai pilihan utama dalam berpergian. Berjalan kaki ini bagian kebutuhan olahraga harian yang harus dipenuhi warganya. Oleh karena itu, dasar kebijakan pemerintah setempat selalu mengutamakan nasib, keselamatan kenyamanan dan keamanan pejalan kaki. Pemerintah setempat juga menyediakan tap water di setiap sudut taman dan area publik lainnya. Jadi jangan lupa membawa botol minum untuk keluar ruangan atau bisa langsung minum dari air keran ini. Jangan menunda minum air karena di kota berangin ini bakal jarang sekali terasa haus sehingga rentan dehidrasi, tiba-tiba badan pun terasa letih dan lemas.
Desain tata kota Melbourne dirancang dengan infrastruktur yang pedestrian friendly. Tidak heran setiap pelosok sudut kota ini pasti tersedia jalur khusus untuk pejalan kaki dan sepeda, berdampingan dengan jalur kendaraan maupun transportasi umum. Sebagian besar taman dan atraksi turis popular lainnya bisa diakses dengan transportasi publik dan berjalan kaki. Sebut saja Yarra Bend Park, Docklands, Royal Botanical Garden, Dandenong Rangers, dan masih banyak lagi tempat yang menyenangkan untuk berjalan kaki. Tidak perlu takut jadi korban cat calling semacam, “Neng sendiri aja? Abang temenin ya?” atau disiul-siul yang membuat saya enggan berjalan kaki. Belum lagi godaan jajanan gerobak yang memakan trotoar jalan. Untuk yang satu ini, justru saya yang gampang tergoda mampir dan mengeluarkan uang. Tidak banyak memang, tapi ternyata itu pengeluaran harian yang tidak perlu.
Pembangunan bukan berarti merusak lingkungan. Itulah yang saya rasakan selama tinggal di sini. Warga begitu dekat dengan alam yang terjaga dengan baik meski Melbourne bukan Ibu Kota Australia tapi dikenal sebagai kota-kota metropolitan dunia yang ramah lingkungan. Tidak seperti di Jakarta, pembangunan identik dengan kepadatan penduduk, kemacetan, produksi sampah yang meningkat, asap polusi tebal, atau kebisingan suara kendaraan bermotor. Ketika ingin beristirahat, warga Jakarta harus mencari ketenangan dengan pergi ke daerah-daerah terpencil jauh dari ibu kota. Bahkan, anak saya sampai heran, “Bubu, kenapa selama di sini kita tidak pernah menginap di hotel ke luar kota?”
Selama tiga tahun tinggal di Reservoir, pinggiran kota Melbourne atau 10 kilo dari pusat Kota Melbourne. Kami jadi dekat dengan kegiatan alam. Jalan kaki aktivitas harian kami untuk menghilangkan kejenuhan. Udara bersih, langit biru, bau rumput dan pepohonan, lebih memilih mendengarkan nyanyian kicau burung yang banyak dan beragam jenis daripada mendengarkan Spotify dari headphone. Menurut Australia’s Wonderful Birds, Australia merupakan rumah bagi lebih dari 700 spesies burung di dunia, 350 diantaranya adalah endemik (hanya bisa ditemukan di Australia).
Melihat burung tidak perlu ke kebun Binatang atau Taman Safari. Cukup dengan membuka pintu rumah, saya sudah bisa melihat Austalian parrots (burung beo) berbulu merah dan biru menyala nan ceriwis, atau merpati berwarna perpaduan hijau dan kuning.
Inilah manfaat sederhana yang bisa kami temukan dengan berjalan kaki atau melakukan aktivitas luar rumah lainnya. Sejuk jiwa mendengarkan suara-suara alami dari Sang Pencipta. Membangun kesehatan mental dan jasmani ternyata bukan berawal dari materi.
Pencapai kehidupan saya di sini sebagai seorang ibu mengubah mindset mengenai makna kehidupan kosmopolitan di Jakarta. Di Jakarta pencapaian selalu dikaitkan dengan kesejahteraan ekonomi, modernitas, mengikuti tren teknologi. Apa guna itu semua jika tidak bisa menikmati lingkungan yang ditinggali?
Manusia dan alam harusnya tidak bisa dipisahkan. Hidup berdampingan, bukan mendominasi apalagi sampai mengeksploitasi hingga berdampak pada kerusakan lingkungan. Pencapaian sederhana ini yang membuat saya cemas jika kembali ke Jakarta, seperti yang dikatakan Paul Coelho pada awal tulisan ini. Terutama dalam hal membesarkan anak semata wayang saya. Di sini banyak sekali ruang bermain, taman-taman yang ditata dan terjaga dengan baik berdampingan dengan alam dan bisa dinikmati secara cuma-cuma. Kami bisa sambil piknik menikmati barbeque, membawa bekal dan alas piknik dari rumah.
Tidak seperti di Jakarta. Sebagian besar waktu bersama keluarga dihabiskan di mall untuk makan dan bermain. Bahkan selama kami di sini, belum memerlukan mobil. Hanya sepeda kendaraan pribadi yang kami miliki. Ketika kami bersepeda dan lelah mengayuh, kami hanya perlu mencari stasiun terdekat. Sepeda dengan leluasa diperbolehkan masuk ke dalam kereta sehingga kami melanjutkan perjalanan dengan kereta. Sudah ada rasa rindu pada kehidupan yang kami bayangkan jika nanti kembali ke Jakarta, kota seribu cahaya.
Dian Tri Hapsari