digitalMamaID — Lebih dari dua dekade RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (PPRT) digantung tanpa kepastian. Di sisi lain, angka kekerasan dan eksploitasi terhadap pekerja rumah tangga semakin tinggi.
Pimpinan Pusat Nasyiatul Aisyiyah (PPNA) bersuara lantang menyerukan agar negara tidak boleh terus-menerus absen dalam melindungi PRT. Seruan ini disampaikan dalam Tadarus Kebijakan bertema “Saatnya Negara Hadir, Sahkan RUU PPRT” yang digelar secara daring pada Sabtu, 28 Juni 2025.
Dalam forum yang melibatkan tokoh masyarakat sipil, anggota DPR, hingga pegiat advokasi, Ketua Umum PPNA Ariati Dina Puspitasari menyatakan bahwa ketidakadilan yang dialami pekerja rumah tangga sudah sangat memprihatinkan. Ia menyatakan bahwa isu ini adalah panggilan moral dan spiritual.
“Pimpinan Pusat Nasyiatul Aisyiyah senantiasa berkomitmen menjadikan semangat keadilan sebagai landasan gerakan. Kami membawa nilai-nilai Al-Ma’un, sebagai wujud kepedulian pada kelompok rentan, termasuk pekerja rumah tangga. Ini bagian dari visi besar kami: keluarga muda tangguh yang menjunjung tinggi keadilan dan anti kekerasan,” ujar Ariati dalam keterangan tertulis, Minggu, 29 Juni 2025.
Perlindungan PRT
Menurut Ariati, RUU PPRT adalah upaya negara menunjukkan keberpihakan. Selama ini yang jelas, rawan eksploitasi, dan kekerasan. Jika negara terus diam, kata dia, artinya negara membiarkan ketidakadilan terjadi setiap hari.
“Kami menolak diam. Setelah forum ini, kami akan terus bergerak bersama untuk mendorong agar RUU ini disahkan. Kami membawa semangat Al-Ma’un dalam perjuangan ini. PRT adalah bagian dari rakyat yang harus dilindungi. Negara tidak boleh terus tutup mata. RUU ini penting untuk memastikan keadilan dan perlindungan hukum bagi para pekerja rumah tangga,” tegas Dosen Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta ini.
Lebih dari sekadar urusan regulasi, masalah ini menyangkut nyawa, martabat, dan hak dasar manusia. Ninik Rahayu, Anggota Majelis Hukum dan HAM PP Aisyiyah menyoroti masih kuatnya stigma sosial dan bias struktural terhadap PRT.
“Mereka masih dianggap pembantu, bukan pekerja. Kerja mereka di ruang privat rumah tangga seolah tak layak dihormati. Ini bentuk ketimpangan dan relasi kuasa yang dibiarkan terus berlangsung karena negara belum hadir lewat hukum,” jelasnya.
Ninik mengungkapkan, PRT juga terjebak dalam dua lapis relasi kuasa, di dalam rumah tangga yang patriarkis, dan di luar karena negara tidak hadir. Sehingga mereka tidak memiliki perlindungan kompetensi, tidak ada standar kerja, tidak ada jaminan hak.
“Ini adalah diskriminasi sistemik yang harus dipangkas dari akar-akarnya. RUU PPRT adalah kunci untuk memulainya,” ujar eks Komisioner Komnas Perempuan ini.
Selanjutnya Perwakilan dari Koordinator Jaringan Nasional Advokasi Pekerja Rumah Tangga (JALA PRT), Ari Ujianto, menyebut perjuangan ini tidak bisa diserahkan pada segelintir pihak. Ia menyerukan kolaborasi lintas elemen dibutuhkan untuk bersama-sama mendesak pengesahan RUU tersebut.
“Advokasi harus dibangun lewat kekuatan kolektif. Kampanye publik dan jejaring harus diperluas. Tanpa pengorganisasian yang rapi dan dukungan berbagai pihak, RUU PPRT hanya akan terus jadi janji kosong,” katanya.
Tahun ini
Advokasi perlindungan mereka, kata Ari, bukan hanya soal membahas undang-undang. Melainkan soal membangun solidaritas, memperluas jaringan, dan memobilisasi kekuatan publik agar negara tak bisa lagi menghindar dari tanggung jawabnya.
“Kampanye publik dan pengorganisasian yang kuat menjadi kunci. Kita tidak bisa berharap RUU ini lolos hanya dengan wacana di ruang tertutup. Harus ada tekanan publik, kerja bersama, dan konsolidasi lintas sektor. Ini bukan tugas segelintir orang, ini tugas bersama.” tegasnya.
Badan Legislasi (Baleg) DPR menargetkan bahwa pembahasan RUU PPRT akan selesai tahun ini. Wakil Ketua Baleg DPR Ahmad Doli Kurnia menyatakan, negara sudah berkomitmen untuk segera menyelesaikan pembahasan RUU PPRT. Ia menyampaikan bahwa RUU PPRT sedang dipacu untuk diselesaikan dalam masa sidang saat ini.
“Kami baru saja masuk masa sidang keempat. Ini masa sidang yang pendek, tapi kami sudah menyepakati di Baleg bahwa RUU PPRT menjadi prioritas. Kami targetkan sebelum 24 Juli ini sudah bisa kami rampungkan dan serahkan ke pimpinan DPR untuk disahkan sebagai RUU inisiatif DPR,” jelas Politikus Golkar ini.
Doli menegaskan fokus utama terhadap RUU ini harus sungguh-sungguh memberikan perlindungan kepada PRT yang selama ini seringkali dirugikan dan terabaikan hak-haknya.
“RUU ini bukan hanya penting secara substansi, tapi juga simbolik: ini adalah bukti apakah DPR dan negara sungguh-sungguh berpihak pada rakyat kecil. Saya pribadi akan mengawal ini, dan kami harap tidak ada lagi hambatan politik. Waktunya kita menuntaskan penantian panjang ini,” ujar Doli.






