digitalMamaID — Di tengah derasnya digitalisasi, perlindungan anak di ruang digital masih jauh dari memadai. Anak-anak perlu perlindungan kuat saat menjelajah dunia maya karena predator siber dan konten berbahaya kian leluasa menyasar mereka. Regulasi seperti PP Tunas hadir, tapi cukupkah itu melawan algoritma dan industri digital yang tak peduli usia?
Menciptakan ruang digital yang aman bagi anak-anak menjadi sangat penting dilakukan oleh pemerintah di tengah pesatnya perkembangan teknologi dan akses internet yang semakin cepat dan mudah. Oleh karena itu, anak-anak menjadi kelompok yang paling rentan menjadi korban di ruang digital.
Anak-anak belum mampu untuk mengenali dan mendeteksi bahaya yang mengintai. Anak menghadapi risiko seperti paparan konten negatif, eksploitasi seksual daring, pelanggaran privasi data pribadi, hingga kejahatan siber dan cyberbullying yang bisa mengancam kesehatan fisik dan mental anak.
Maka tidak heran bila kemudian muncul istilah “the killer finger” atau jari-jari pembunuh. Hanya dengan ketukan jari-jari pada papan keyboard, pelaku cyberbullying dapat menyerang korbannya dengan sunyi dan senyap. Pelaku diam-diam merusak mental korbannya melalui komentar-komentar negatifnya yang merusak secara perlahan kehidupan korban.
Pengguna internet di Indonesia
Indonesia menjadi salah satu negara dengan jumlah pengguna internet tertinggi di dunia. Berdasarkan data yang dirilis oleh Badan Pusat Statistik (BPS) 2024, pengguna internet di Indonesia mencapai 221 juta orang atau 79,5 persen dari total populasi. Di antara para pengguna internet itu, jumlah pengguna anak usia dini mencapai 39,71 persen, sementara 35,57 persen lainnya sudah mengakses internet.
Apabila dirinci per kelompok usianya, maka terdapat 5,88 persen anak di bawah usia 1 tahun yang sudah menggunakan gawai, anak usia 1-4 tahun terdapat 37,02 persen yang menggunakan gawai, dan anak usia 5-6 tahun sebanyak 58,25 persen yang menggunakan gawai.
Banyaknya anak usia dini yang sudah memegang gawai dan berselancar di internet, membuktikan semakin mengkhawatirkannya dunia digital bagi anak-anak. Jika mereka berselancar terus menerus dan tanpa perlindungan dari orang tua dan negara, mereka akan menjadi sasaran empuk para pelaku kejahatan cyberbullying, penipuan online, bahkan predator seksual.
Menurut pemerintah, PP Nomor 17 Tahun 2025 atau PP Tunas diterbitkan sebagai langkah strategis untuk melindungi anak di ruang digital. Perlindungan anak di ruang digital bukan hanya soal mengawasi akses, tetapi juga menciptakan lingkungan yang aman untuk mendukung kreativitas dan tumbuh kembangnya.
“Kita berharap bahwa dengan adanya PP Tunas ini menjadikan semua aplikasi-aplikasi, produk-produk di ruang digital ini menjadi seperti sebuah lapangan bermain yang luas bagi anak, platform-platform itu bisa seperti ayunan, jungkat-jungkit, di mana anak bisa tumbuh berkembang dan mengembangkan pengetahuan dan keingintahuannya dengan lebih baik, dan semua ini perlu usaha bersama,” ujar Ketua Tim Hukum dan Kerja Sama Setditjen Pengawasan Ruang Digital Komdigi RI, Josua Sitompul dalam Webinar yang digelar UNICEF Indonesia dan AJI Indonesia.
Untuk menciptakan taman bermain yang aman bagi anak-anak ini, menurut Josua, dibutuhkan peran penting penyelenggara sistem elektronik (PSE) untuk menyaring bahkan memblokir konten-konten yang tidak sesuai dengan usia anak, termasuk konten-konten autoplay di platform mereka.
Menurut Josua, PSE memiliki kewajiban untuk melakukan penilaian terhadap konten-konten ataupun produk-produk yang akan dipasarkan, termasuk memperhitungkan apa saja risiko yang akan dialami oleh anak.
“Konfigurasi privasi juga sangat penting bagi PSE dalam melindungi anak di dunia digital, karena anak-anak memerlukan perlindungan khusus,” kata dia.
Josua menambahkan, banyak platform digital yang dibuat khusus untuk anak-anak, tetapi banyak juga yang sejatinya tidak diperuntukkan bagi anak-anak tetapi banyak anak-anak yang justru dengan mudah mengaksesnya. Melihat fenomena seperti ini kata dia, maka penting bagi PSE untuk mengkonfigurasi pengaturan produk dan layanan dengan tingkat privasi yang lebih tinggi. Benar-benar dikunci agar tidak sembarangan umur dapat mengaksesnya.
Josua juga berpesan kepada PSE yang memiliki platform di mana ada pengguna anak-anak di dalamnya agar benar-benar mematuhi PP Tunas dan bertanggungjawab atas keamanan mereka.
“Di dalam menjalankan kewajiban dan larangan PP Tunas, PSE harus memprioritaskan kepentingan terbaik anak dibandingkan kepentingan komersil, contoh di bagian persetujuan orang tua sebelum anak usia 18 tahun maka persetujuan orang tua bersifat wajib,” kata dia.
PP Tunas saja tidak cukup
Jika di dunia nyata kita mengenal rambu-rambu lalu lintas seperti lampu merah sebagai sinyal untuk menghentikan kendaraan, zebra cross untuk menyeberang, dan surat izin mengemudi (SIM) dibutuhkan sebagai syarat penting untuk mengendarai kendaraan di jalan raya, maka PP Tunas adalah rambu-rambu untuk anak-anak berselancar di ruang digital. Hal tersebut disampaikan oleh Tazkia Aulia Al-Djufri, mitra muda UNICEF Indonesia.
“Sekarang bayangkan di dunia digital, apakah ada rambu lalu lintas? apakah ada SIM? tentu tidak ada. Padahal risiko di dunia digital ini sama besarnya, hanya saja lebih sunyi dan tidak terlihat,” ungkap Azki.
Menurut Azki, perkembangan internet yang semakin cepat memang memberikan banyak manfaat, salah satunya akses tak terbatas terhadap sumber informasi dan pengetahuan, komunikasi yang cepat dan efisien, meningkatkan inovasi dan kreativitas.
Banyak sekali orang yang mencari penghasilan melalui internet dengan menjadi Youtuber atau Tiktokers. Tetapi tanpa dipungkiri, dampak negatif tetap menyertai seperti berkembang pesatnya konten-konten berbahaya, kekerasan, cyberbullying, perdagangan anak, doxing, pornografi, eksploitasi seksual daring terhadap anak juga dalam kondisi yang memprihatinkan.
“Jika anak-anak memiliki akses bebas ke berbagai konten online, sedangkan pemahaman literasi mereka masih minim, maka informasi-informasi hoaks pun akan dianggap sebagai kebenaran,” kata Azki.
Menurut Azki, pendukung utama PP Tunas ini adalah keterlibatan peran orang tua sebagai garda terdepan yang harus memastikan bahwa anak-anak mereka mampu memahami pentingnya melindungi privasi dan data pribadi mereka, termasuk memberitahukan cara mengenali dan menghindari potensi adanya kejahatan online, termasuk jika kontak dengan orang asing.
Sayangnya di Indonesia ini, tidak semua orangtua atau wali anak melek teknologi dan internet. Bisa jadi, jari-jari anak yang justru lebih lincah menggunakan gawai ketimbang orang tuanya sehingga orangtua tidak sadar bahwa konten-konten yang dikonsumsi anaknya itu berbahaya.
“Jadi kesadaran orangtua atau wali anak sangat penting untuk kita bisa menjamin ruang digital ini aman dan inklusif bagi anak, kan orang terdekat anak adalah keluarga dulu,” tutur Azki.
Solusi ala YouTube
Kepala Hubungan Pemerintah dan Kebijakan Publik YouTube Asia Tenggara, Danny Ardianto menyambut positif diterbitkannya PP Tunas 2025. Aturan ini memuat ketentuan dan kewajiban PSE dalam peranannya melindungi anak di ruang digital.
“Perlindungan anak khususnya di ruang digital itu adalah prioritas dan pondasi utama Google untuk mengembangkan produk. Jadi semua konsen dan risiko-risiko penggunaan teknologi digital itu adalah prioritas kami,” kata Danny.
Pihaknya juga mengaku sudah sejak lama mengetahui keresahan para orang tua terhadap konten-konten digital berbahaya yang mungkin saja diakses bebas oleh anak-anak. Karena itulah kata Danny, Google menawarkan produk-produk maupun fitur-fitur yang wajib diketahui oleh para orangtua untuk melindungi anak-anak mereka di ruang digital.
“YouTube punya berbagai platform yang disesuaikan dengan keamanan anak, ada YouTube Kids, Supervised Experience, dan Family Link,” kata Danny.
YouTube Kids ditujukan untuk anak usia 13 tahun ke bawah dan tidak butuh akun untuk mengakses Youtube Kids. Platform ini memungkinkan orangtua untuk mengontrol penuh terhadap apa yang ditonton anak, termasuk mengatur batas waktu penggunaan, serta memilih tingkat konten sesuai usia anak.
Fitur kedua adalah Supervised Experience yang diperuntukkan bagi anak-anak yang memasuki usia remaja. Menurut Danny, tidak mungkin anak remaja menyukai tontonan kartun ataupun lagu-lagu anak. Remaja mulai membutuhkan akses ke konten yang lebih beragam namun tetap dalam pengawasan orangtua.
Terakhir, orang tua juga bisa memanfaatkan fitur Family Link di Google. Sehingga bisa menghubungkan akun anak dan akun orang tua. Dengan mengunduh fitur Family Link, orangtua dapat melihat dan mengatur konten yang ditonton anak melalui Supervised Experience tetapi juga termasuk menentukan durasi anak dalam menggunakan gawai.
“Pada Family Link ada batasan-batasan yang bisa diatur orang tua, sehingga bisa mengontrol konten seperti apa, saluran seperti apa yang boleh dilihat anak, pengaturan-pengaturan itu ada. Di dalamnya juga ada opsi pengaturan waktu misalkan kapan ponsel anak harus mati,” kata Danny. [*]