digitalMamaID – Menjadi ibu sekaligus perempuan yang terus ingin belajar dan berkembang bukanlah hal mudah. Ada dinamika emosi yang naik turun, rutinitas melelahkan, serta ekspektasi sosial dan keluarga yang seakan tak pernah surut. Namun di balik segala tantangan itu, selalu ada ruang untuk tumbuh, asal kita mau mengenali dan menerima diri sendiri. Mama tentu juga pernah merasakannya, bukan?
Semangat inilah yang diusung oleh Selebrasi Perempuan Pembelajar bertema “Rise and Balance”, sebuah acara persembahan HIMA Institut dan Sekretariat Regional Ibu Profesional Bandung yang digelar pada Sabtu, 24 Mei 2025 di Hotel Gino Feruci, Jl. Kebon Jati No. 71–75, Kota Bandung.
Perempuan sering abai akan perasaannya
Wening Prihapsari, selaku pembicara sekaligus Leader IP Bandung periode 2017-2019 mengajak untuk melihat ulang relasi antara peran, emosi, dan energi yang sering kali diabaikan para ibu, baik itu yang bekerja di ranah domestik atau publik. Mengambil contoh dari pengalaman pribadinya sebagai ibu yang bekerja di ranah domestik dan publik di kesehariannya, Wening menyimpulkan bahwa banyak perempuan—baik yang bekerja di ranah domestik maupun publik—sering kali mengabaikan kondisi emosinya sendiri.
“Saya ngerasanya kalau bekerja di ranah domestik itu kayak berputar pada pikiran sendiri aja gitu. Kayak enggak ada yang diajak ngomong, enggak ada yang ngerti perasaan aku.” ungkap Wening. Ia mencontohkan, rasa sedih atau marah sering kali ditekan karena harus tetap mengurus anak dan urusan rumah.
Ia juga menambahkan, bekerja di ranah publik bukan berarti bebas dari tekanan emosional. “Ketika bekerja di ranah publik, karena ada pekerjaan, jadi, pikiran-pikiran tidak berdaya kita kayak dialihkan. Tetapi, bisa jadi itu tidak ter-release dengan baik,” tambah Wening. Menurutnya, hal ini karena ada tanggung jawab pekerjaan yang membuat emosi-emosi yang harusnya divalidasi jadi tersingkirkan.

Hal ini sejalan dengan hasil survei IPB Journal tahun 2023 yang melibatkan 300 ibu di wilayah Jabodetabek. Hasilnya menunjukkan, rata-rata ibu menghabiskan 48% waktunya untuk urusan domestik dan hanya 7,63% untuk waktu senggang atau leisure time. Jika dikalkulasi, ini berarti sekitar 11,5 jam per hari dihabiskan untuk mengurus rumah, sementara waktu untuk istirahat atau menikmati hidup hanya sekitar 1 jam 50 menit. Kesenjangan ini tentu berpengaruh pada kondisi fisik dan mental ibu.
Manajemen energi, bukan hanya manajemen waktu
Wening menekankan pentingnya manajemen energi ketimbang hanya fokus pada manajemen waktu. Ia mengacu pada konsep dari Tony Schwartz dalam bukunya The Power of Full Engagement yang menyatakan, kualitas hidup lebih ditentukan oleh seberapa besar energi yang kita investasikan, bukan hanya berapa lama kita beraktivitas.
Wening membagi tangki energi menjadi tiga: fisik, mental, dan spiritual. Tangki fisik bisa diisi ulang melalui tidur yang cukup dan makanan bergizi. Tangki mental dijaga dengan menghindari multitasking yang berlebihan karena bisa menyebabkan seorang perempuan menjadi sering lupa karena saking banyak hal ada di kepalanya.
Sedangkan pengisian tangki spiritual bisa dilakukan dengan memperkuat hubungan dengan Yang Maha Kuasa, serta belajar menerima keadaan dengan lapang dada.
Strategi sehari-hari: fokus, delegasi, dan komunikasi asertif
Untuk menjaga keseimbangan, Wening membagikan tiga strategi yang ia terapkan: time blocking, golden hour, dan delegating. Ia menyarankan agar ibu fokus pada satu pekerjaan dalam satu waktu. “Nyapu ya nyapu aja, buka laptop ya buka laptop aja, nggak usah sambil buka HP,” katanya yang disambut tawa peserta.
Golden hour adalah waktu terbaik bagi Wening untuk menyelesaikan pekerjaan, biasanya sebelum subuh atau ketika anak-anak sudah tidur. Sedangkan delegating dilakukan dengan melibatkan anggota keluarga dalam pekerjaan rumah tangga, agar ibu tidak merasa memikul beban sendirian.
Wening juga menyoroti pentingnya komunikasi yang jujur dan asertif dalam rumah tangga kepada pasangan. Menurutnya, komunikasi yang sehat adalah kunci menjaga keharmonisan tanpa mengorbankan kesehatan mental. “Komunikasi itu bukan yang kode-kodean. Usahakan berkata dengan eye statement. ‘Hai, aku merasa dicintai, aku merasa bahagia ketika aku dibantu mencuci piring.’” ujarnya memberi contoh.
Komunitas: tempat bertumbuh dan dipeluk
Perempuan menjalani banyak peran dalam hidupnya—dari menjadi anak, ibu, istri, hingga pribadi yang memiliki mimpi. Namun, sering kali mimpi seorang ibu tenggelam di antara tanggung jawab yang menumpuk. “Bagaimana bahwa menjadi ibu, menjadi istri itu tidak mematikan mimpi kita. Bahkan bisa dielaborasi menjadi mimpi keluarga,” ucap Wening dengan penuh semangat.
Komunitas seperti Ibu Profesional, menurutnya, punya peran besar dalam menopang kesehatan mental dirinya dan merasa dipeluk dari belakang. “Bandung adalah tempat saya merantau. Saya nggak ada siapa-siapa di sini. Artinya saya menemukan keluarga di Ibu profesional.” kenangnya haru.
Dinan Nur Shadrina, anggota aktif sejak 2018, juga membagikan kisahnya. Ia bergabung karena merasa kehilangan jati diri setelah menjadi ibu. “Rata-rata orang yang mau masuk IP (Ibu Profesional) itu pasti dia kan pasti sedang ingin mempelajari seluk beluk menjalani peran sebagai ibu yang memang tidak ada sekolahnya. Nah, IP itu menyediakan kurikulum yang memang siap untuk membantu perempuan-perempuan ini menemukan lagi jati dirinya,” ungkap Dinan. Kurikulum tersebut terdiri dari Akar Ibu, Bunda Sayang, Bunda Cekatan, Bunda Produktif, hingga Bunda Salihah.
Setiap jenjang memiliki tugas dan tantangan yang membantu ibu mengasah diri sesuai minatnya. Dinan sendiri kini memilih fokus pada bidang psikologi. Ketua Pelaksana, Sukma Fitria Putri, menjelaskan tema “Rise and Balance” sebagai ajakan untuk bangkit dan menyeimbangkan seluruh peran perempuan, baik sebagai ibu, istri, anak, maupun individu dalam masyarakat.
Menjaga diri adalah tanggung jawab pertama
Menjaga keseimbangan bukan tentang menjadi sempurna setiap saat. Ia adalah proses bertumbuh lewat langkah-langkah kecil yang konsisten: tidur cukup, makan tepat waktu, berbagi beban, serta merawat kesehatan mental.
Wening mengingatkan bahwa perempuan mesti memprioritaskan dirinya sebelum orang lain. “Ibarat kayak pertolongan pertama di pesawat, ya. Kita tuh disuruh pakai oksigen diri sendiri dulu baru kita menolong orang lain. Ketika saya donor, saya enggak bisa donor kecuali HB saya 12,5. Artinya saya harus menyehatkan diri saya sendiri dulu sebelum saya bisa menolong orang lain.” ungkapnya mengingatkan. Ia juga mendorong kebiasaan journaling untuk menjaga kewarasan dan rasa syukur.
Merajut keseimbangan adalah sebuah proses lewat langkah-langkah kecil yang konsisten. Keseimbangan bukan tentang sempurna setiap saat, melainkan tentang konsistensi merawat diri dan membangun sistem dukungan di sekitar Mama. Bahwa setiap langkah kecil kita—entah itu journaling, tidur cukup, atau berbicara baik pada pasangan—adalah upaya bertahan yang layak dirayakan. [*]






