Membangun Pola Gizi Seimbang Sejak Dini Melalui Bekal Anak

Share

Periode pertama, program Makan Bergizi Gratis (MBG) telah berjalan pada Januari lalu. Program ini sudah menyasar lebih dari 600 ribu anak di 26 provinsi. Anggaran yang digelontorkan pun mencapai Rp71 triliun dan rencananya akan bertambah lagi sebesar Rp100 triliun menjadi Rp171 triliun untuk memenuhi target 82,9 juta orang di akhir 2025.

Mengaku menggunakan standar United Nations Children’s Fund (UNICEF), yang menganggarkan makan siang gratis sebesar US$ 1 per hari, pemerintah berharap MBG dapat memenuhi kebutuhan gizi anak-anak. Targetnya 30 sampai 35 persen Angka Kecukupan Gizi (AKG) harian sesuai Permenkes 28/2019 dan disajikan sesuai pedoman gizi seimbang “Isi Piringku” yang terdiri dari 1/3 makanan pokok, 1/3 sayuran, 1/6 protein, 1/6 buah-buahan.

Meski menuai banyak kritik, misalnya realisasi yang belum merata dan penggunaan makanan dengan ultra-proses yang tinggi gula, implementasi MBG di awal tahun ini diklaim sebagai langkah strategis pemerintah dalam menangani stunting serta pemenuhan gizi dan perbaikan gizi anak, yaitu dengan memastikan bahwa anak-anak paling tidak satu kali makan makanan bergizi dalam sehari.

Menurut beberapa penelitian, jurnal dan artikel, salah satunya milik Center for Indonesian Policy Studies (CIPS), lembaga pemikir independen, nirlaba, dan non-partisan yang mengadvokasi reformasi kebijakan praktis yang diinformasikan oleh penelitian dan analisis kebijakan berbasis bukti menyatakan, kecukupan gizi penting bagi perkembangan kognitif anak serta kesehatan mereka secara menyeluruh. Anak yang memperoleh asupan pangan yang baik, lebih besar kemungkinannya untuk tumbuh baik secara fisik dan lebih berhasil secara akademis.

Masih menurut CIPS, secara tidak langsung juga, pemberian makanan bergizi ini juga membantu mengedukasi anak dan orang tua tentang makanan gizi seimbang serta diharapkan dapat membantu pembentukan pola kebiasaan makan anak. Tapi, apakah program ini cukup untuk mengatasi permasalahan gizi di Indonesia? Tanpa strategi jangka panjang, program ini dikhawatirkan tidak memberi dampak apapun.

Di Kabupaten Bandung, program MBG baru ada di lima kecamatan yaitu, Bojongsoang, Majalaya, Rancaekek, Nagrek dan Cicalengka, itu pun belum merata. Penyedia MBG yang dikelola oleh Badan Gizi Nasional, yaitu Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) baru menyalurkan ke daerah Rancaekek saja, sisanya disalurkan oleh mitra-mitra yang terdaftar. SD Plus Al-Aitaam, menjadi salah satu SD di Kabupaten Bandung yang sudah mendapatkan MBG.

Angke (31), orang tua murid di SD Plus Al-Aitaam, mengaku awalnya sempat khawatir karena banyak isu-isu yang beredar tentang porsi dan kandungan gizi dalam program MBG. “Sebelumnya saya ikut catering di sekolah dan selalu tahu menu apa yang diberikan. Program MBG ini paling lihat dari video-video yang di unggah di instagram,” ungkapnya kepada digitalMamaID, Jumat, 7 Februari 2025.

Meski begitu, ia menyambut baik program ini. Menurutnya, anaknya jadi lebih teredukasi dan paham makanan apa saja yang harus ada di dalam piringnya. “Kalau misal lagi repot, belum belanja dan cuma disiapin nasi dan telor, Alka (7) bilang ‘kok cuman pakai ini aja? sayur buahnya mana?’ gitu,” jelasnya.

Terkadang, memang dirinya memberikan pemahaman sederhana pada anaknya. Misalnya, jika kurang makan makanan yang mengandung serat akibatnya akan sembelit, kurang protein hewani, pertumbuhan badannya akan tertinggal. Hal-hal seperti ini, sesekali ia beritahukan pada anakya.

Sebenarnya, jauh sebelum program MBG ini ada, baik di sekolah maupun di rumah, ia sudah berusaha menerapkan pola gizi seimbang. “Pada dasarnya di rumah, minimal kalau makan, ada sayur dan buah,” lanjutnya.

Anaknya juga bukan anak yang sulit makan atau pemilih. Jadi ia yakin, walau hari-harinya sibuk sebagai ibu pekerja sekaligus ibu rumah tangga, pola makan gizi seimbang ini bisa terus ia upayakan dan tidak hanya berhenti di sekolah saja tapi dapat berkelanjutan di dalam rumah.

Kesadaran tentang pedoman gizi seimbang “Isi Piringku”

Memastikan keberlanjutan pola gizi seimbang di dalam rumah, memang bukanlah pekerjaan yang mudah. Orang tua seringkali kecolongan karena kesibukan, sehingga tidak bisa 24 jam mengawasi. Belum lagi pengaruh lingkungan teman sebayanya, hingga keterbatasan pengetahuan orang tua itu sendiri mengenai gizi seimbang.

Kementerian Kesehatan (Kemenkes) sendiri sebetulnya sudah mengeluarkan pedoman gizi seimbang “Isi Piringku” sebagai panduan untuk membantu orang tua terutama ibu dalam mengatur pola makan sehat, bergizi dan seimbang. Berbeda dengan 4 sehat 5 sempurna, “Isi Piringku” menurut Kemenkes, dimaknai sebagai susunan makanan sehari-hari yang mengandung zat-zat gizi dalam jenis dan jumlah yang sesuai dengan kebutuhan tubuh. Selain itu, pedoman ini memperhatikan 4 pilar, yaitu membiasakan makan makanan yang beraneka ragam, menjaga pola hidup bersih, pentingnya pola hidup aktif dan olah raga, dan pantau berat badan.

Diah (33), ibu rumah tangga sekaligus ibu pekerja, sebenarnya sudah mengetahui tentang pedoman gizi seimbang “Isi Piringku” ini dari tugas sekolah anaknya. Akan tetapi, ia mengaku belum bisa menerapkannya dalam keseharian maupun dalam bekal anak. “Terkadang karena saya ibu yang bekerja, bila tidak sempat masak, pasti menggunakan yang instan,” ungkapnya ketika dihubungi, Senin, 3 Februari 2025.

Ia mengaku kesulitan jika 100 persen memberikan makanan gizi seimbang setiap harinya karena waktu dan juga terkadang anak tidak terlalu suka dengan sayur yang tidak familiar. “Jadi terkadang menu bekalnya itu-itu aja (ayam goreng dan nasi). Tapi, di sekolah anak, setahun sekali diadakan sarapan bareng seluruh siswa dengan judul Isi Piringku, jadi harus bawa menu seimbang dari rumah,” katanya.

Mengenai perbandingan harga, baik makanan olahan rumah atau makanan ultra-proses, Diah merasa harga keduanya yang tidak jauh berbeda. Ia sendiri bisa berbelanja kebutuhan makan sampai 20 kali dalam sebulan dengan anggaran sekitar Rp 30 ribu – Rp 50 ribu untuk sekali belanja di tukang sayur atau Rp 100 ribu sekali belanja di supermarket.

Senada dengan Diah, Riska (34), ibu rumah tangga, juga sudah lama tahu tentang pedoman gizi seimbang “Isi Piringku” lewat media sosial. Ia mengaku sudah mengadopsi pola tersebut sejak 2019, walau sesekali masih suka memberi makanan ultra-proses seperti roti, nugget dan burger karena alasan kepraktisan dan banyak yang menjual. “Iya, namun tidak berlebihan dan hanya jadi snack saja, bukan makanan utama,” ungkapnya, Sabtu, 1 Februari 2025.

Untuk bekal anak, karena masih usia PG & TK, Riska sering memberikan camilan porsi kecil ketimbang makanan berat. Pihak sekolah juga turut andil dengan memberikan jadwal menu bekal apa saja yang harus dibawa di hari-hari tertentu, misalnya bekal harus mengandung sayuran dan buah.

Dari hasil pengamatan, Riska sendiri suka mempadupadankan makanan olahan rumah dan ultra- proses sesekali. Walau begitu, ia membatasi dan mengurangi makanan yang mengandung tepung serta tinggi gula, dan proses kimiawi. “Heidi (5) harus makan sayuran walaupun hanya sedikit dan minum air putih yang cukup. Setiap hari konsumsi makanan yang mengandung protein dan camilan buah-buahan,” jelasnya.

Menurutnya, memasuki usia 30-an, dirinya semakin peduli dalam memilih makanan lantaran sering terkena penyakit dermatitis di kulit yang sifatnya kambuhan. Riska sendiri mengaku terinspirasi dengan pola hidup sehat dari kebiasaan orang Jepang yang sering berjalan kaki dan memakan makanan porsi kecil yang berkualitas, seperti boga bahari segar dan sayuran hasil panen, teh hijau tanpa gula, dan juga dari gaya hidup vegan.

“Aku masih makan makanan seperti pastry, ramen, bakso tapi dibatasi seminggu sekali. Selebihnya nerapin pola hidup sehat, terapin konsep ‘we are what we eat’. Pengen dong hidup sehat sampai usia tua, panjang umur, awet muda berkat makanan yang kita makan,” pungkasnya.

Lain halnya dengan Sri Mulyani (32), ibu rumah tangga sekaligus pelaku usaha rumahan ini tak tahu menahu sama sekali tentang pedoman gizi seimbang ini. Namun, tanpa sadar dirinya sudah mengadopsi pola ini sejak lama, sejak anak-anaknya mulai MPASI sampai sekarang.

Sri mengaku tidak pernah memberi bekal makan anaknya makanan ultra-proses atau camilan kemasan. Ia selalu membuat masakannya sendiri, mulai dari nugget, chicken katsu, bahkan sosis ia buat homemade. “Pokoknya, filet dada dan filet paha ayam jadi makanan dan camilan anak tapi, tetap pakai gluten sih, bukan real food banget. Belum maksimal tapi, seenggaknya aku menjauhkan makanan kemasan gitu buat anak-anak,” tuturnya saat ditemui, Jumat, 31 Januari 2025.

Beberapa contoh bekal makan anak yang dibuat sendiri oleh Sri Mulyani.

Bahkan dirinya mengaku sampai memindahkan sekolah anaknya dari negeri ke swasta karena merasa tidak ‘sreg’ dengan pola makan di lingkungan sekolah anaknya yang dahulu. “Kasyfi (8) (anaknya) kan bekal makanan rumahan, tapi teman-temannya teh bekalnya makanan kemasan aja. Kasyfi secara tidak langsung jadi bosan, ingin ini, ingin itu, banyak nawar,” lanjutnya.

Gula, menjadi kandungan nomor satu yang paling dihindarinya. Sri mengaku jarang memberikan susu kemasan kepada anak-anaknya karena kandungan gula yang tinggi. Kalaupun memberikan bekal jus, ia mengurangi jumlah gulanya atau mengganti dengan gula stevia cair atau madu. “Kalau susu putih okelah tapi, kalau susu coklat, strawberry, nggak. Mending minum air putih aja,” jelasnya.

Untuk kebutuhan makanan, Sri memilih berbelanja di warung, biasanya ia belanja tiga kali dalam seminggu, dengan anggaran Rp 150 ribu sekali belanja. Kadang, bahan makanan juga ia dapatkan dari kiriman keluarganya di Panjalu, Ciamis.

Menurutnya, dengan membuat bekal sendiri dari rumah biayanya lebih terjangkau daripada harus membeli di luar atau membeli makanan ultra-proses. Efeknya, anak-anaknya juga jarang sakit dan kesehatan giginya terjaga. “Lea (7) selama satu semester kemarin nggak pernah izin sekolah karena sakit,” tuturnya.

Pola makan dan penyakit degeneratif

Wida Widiasih, ahli gizi di RSUD Al Ihsan Provinsi Jawa Barat menjelaskan, membiasakan anak mengonsumsi makanan dengan pola gizi seimbang akan mempengaruhi kondisi tubuhnya. Mulai dari status gizi optimal, daya tahan tubuh yang baik sampai mempertahankan berat badan ideal. “Kenapa sih kita harus mempertahankan berat badan ideal? Ya salah satunya mencegah penyakit degeneratif,” jelasnya ketika dihubungi, Jumat, 31 Januari 2025.

Penyakit degeneratif sendiri adalah penyakit yang terjadi akibat penurunan fungsi jaringan dan organ. Walau identik dengan penuaan, tapi nyatanya penyakit degeneratif bisa menyerang usia produktif seperti hipertensi dan obesitas yang berisiko mengalami komplikasi di kemudian hari jika tidak segera ditangani.

Untuk itu menurut Wida, ketercukupan zat gizi baik, zat gizi makro dan mikro itu penting bagi tubuh setiap harinya, seperti karbohidrat, lemak, protein, vitamin, mineral, dan air. “Tentu setiap manusia memiliki kebutuhan gizi yang berbeda-beda sesuai dengan aktivitasnya, usia dan faktor-faktor lainnya,” katanya.

Kepala Bidang Kesehatan Masyarakat di Dinas Kesehatan (Dinkes) Kabupaten Bandung Pujianingsih menyebutkan, gizi adalah investasi yang harus dimulai dari masa kanak-kanak. “Kalau dia gizinya bagus, seimbang, otaknya bagus, berarti dia diharapkan ke depan menjadi generasi emas. Dia mampu bekerja ya, dia mampu menopang kehidupannya. Tapi kalau misalnya dia kurang gizi ya, dia mudah sakit. Sehingga dia tidak produktif. Ketika dia tidak produktif berarti dia tidak bisa menopang kebutuhan hidupnya,” jelasnya ketika ditemui langsung di kantornya, Jumat, 14 Februari 2025.

Puji mengaku, instansinya sudah banyak melakukan promosi dan sosialisasi terkait pola gizi seimbang. salah satunya melalui program Aksi Bergizi bersama Dinas Pendidikan di sekolah-sekolah se-Kabupaten Bandung. “Dalam Aksi bergizi yang dilakukan adalah olahraga, aktivitas fisik bersama, lalu sarapan pagi sesuai ‘Isi Piringku’. Sesudah itu kita edukasi sambil makan Tablet Tambah Darah (TTD) untuk anak perempuan (remaja),” ungkapnya.

Menurutnya, pemberian TTD bagi remaja penting karena, banyak ibu hamil yang mengalami Kekurangan Energi Kronis (KEK) dikarenakan ketika remajanya mengalami kekurangan darah (anemia). Badannya tidak siap untuk hamil, sehingga pada saat melahirkan, panjang bayinya kurang dari 46 cm, akhirnya menjadi stunting baru (new stunting).

Intervensi pemerintah terhadap stunting

Bicara mengenai stunting, dilansir dari Lembar Fakta/Data (Fact Sheets) Survei Kesehatan Indonesia (SKI) 2023, rata-rata nasional mencatat prevalensi stunting sebesar 21,5 persen dan telah terjadi penurunan prevalensi stunting selama 10 tahun terakhir (2013-2023). Akan tetapi, progres ini belum dapat memenuhi target Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024 yang menargetkan prevalensi stunting sebesar 14 persen pada tahun 2024.

Kabupaten Bandung sendiri angka prevalensi stunting di tahun 2023 mencapai 29,72 persen, walau cenderung menurun dari tahun sebelumnya tapi, angka ini masih jauh dengan target 17,81 persen pada tahun 2024. Hal ini menunjukkan masih ada tantangan besar yang belum bisa teratasi. Stunting sendiri tidak hanya berdampak pada kesehatan individu saja tapi mempengaruhi berbagai aspek kehidupan dan masyarakat.

Tren stunting pada balita Indonesia 2013-2023

Menurut Puji, seseorang tidak bisa begitu saja dikatakan stunting tapi, ada tahapan-tahapannya terlebih dahulu, yaitu dari mulai tidak naik berat badan. Di peraturan Perpres nomor 72 tentang Percepatan Penurunan Stunting, di dalamnya terdapat dua intervensi, spesifik dan sensitif. Dinkes sendiri fokus pada intervensi spesifik, diantaranya skrining anemia, pemberian TTD bagi remaja putri (rematri), pemeriksaan kehamilan, pemberian makanan tambahan bagi ibu hamil KEK, pemantauan tumbuh kembang, ASI ekslusif dan Pemberian Makanan Tambahan (PMT).

Salah satu intervensi yang dilakukan oleh Dinkes Kabupaten Bandung sebagai pencegahan stunting adalah dimulai dari remaja, yaitu pemberian TTD pada anak perempuan di hampir semua sekolah di Kabupaten Bandung. “Terus kita sosialisasikan, ini rutin, hampir semua sekolah. SD tidak, SMP iya karena, tanggung jawabnya ada di Kabupaten sedangkan SMA ada di Provinsi,” jelasnya.

Program ini sudah digulirkan di Puskesmas lalu dipantau setiap bulannya oleh Dinkes. “Saya termasuk yang konsen ya. Jadi setiap tanggal lima, pengelola program itu harus lapor ke saya. Nanti saya feedback-kan ke Puskesmas,” lanjutnya.

Selain itu, untuk anak-anak ada intervensi spesifik oleh Dokter Spesialis Anak dari program “KITA SEHATI” (Kolaborasi dokter Spesialis anak dalam turunkan TB dan Stunting menuju Generasi Sehat di Indonesia). Rangkaian program ini sudah berjalan selama dua tahun, dilakukan di empat kecamatan yang memang masuk lokus stunting.

Di posyandu, anak yang terdeteksi tidak naik berat badannya, akan dilakukan plotting di buku Kesehatan Ibu dan Anak (KIA). “Buku KIA itu buku yang kadang-kadang orang tidak isi. Padahal wajib harus diisi. Nah, itu pun kita sosialisasikan terus ya, pengisian buku KIA,” katanya.

Kemudian sesudah dicatat, diperiksa oleh dokter umum atau tenaga kesehatan lainnya, misalnya perawat atau bidan. Jika terindikasi ada penyakit penyerta seperti TB paru, nanti anak akan dirujuk ke dokter spesialis anak untuk tes mantoux dan di skrining.

Jika ternyata ada penyakit lain atau bahkan tidak bisa ditangani saat itu juga, anak harus dirujuk ke rumah sakit dengan peralatan yang memadai atau harus diresepkan, diberikan nutrisi Pangan Khusus Medis Khusus (PKMK). “PKMK ini tidak dijual bebas dan harus diresepkan oleh dokter spesialis anak. Diberikan saat itu juga. Nah, itu suatu rangkaian. Ujungnya ke meja edukasi untuk di edukasi. Nah, itu yang sekarang kita lakukan. Menurut kami itu sudah sangat komprehensif,” tuturnya.

Berigizi tak harus mahal

Sejalan dengan Dinkes, Dinas Pertahanan Pangan dan Perikanan (Dispakan) Kabupaten Bandung sendiri punya program Rumah Pangan B2SA (Beragam, Bergizi, Seimbang dan Aman) yang menyasar desa-desa yang memiliki prevalensi stunting tinggi atau rentan terhadap masalah pangan.

Program ini punya kegiatan kunci bernama kampung MISTING (Makan Sehat Atasi Stunting), yaitu inisiatif makan sehat untuk mengatasi stunting. Terdapat dapur pengolahan pangan yang bertugas menyusun menu sehat kemudian dibagikan kepada anak-anak yang terindikasi stunting selama enam bulan.

Program Rumah Pangan di Desa Ciapus, Kecamatan Banjaran (Sumber Foto: Dispakan Kab. Bandung)

“Kemarin di Desa Ciapus, Kecamatan Banjaran, sasaran kita 40 anak. Tapi dalam 1 minggunya hanya 3 hari kita berikan makan ke anak, tidak diantarkan ke rumah, harus dihabiskan di tempat,” jelas Kepala Bidang Distribusi, Konsumsi dan Keamanan Pangan (DKKP) Dispakan Kabupaten Bandung Haslili Lindayani Lubis ketika ditemui langsung di kantornya, Senin, 10 Februari 2025.

Untuk memastikan keberlanjutan programnya, Dispakan juga memberikan edukasi terhadap orang tua dengan menekankan bahwa makan bergizi itu tidak harus mahal. “Kalau sudah ada ayam, tidak usah ada lagi ikan. Kalau sudah ada tempe, tidak usah lagi ada tahu. Sayur, buah itu harus setiap hari ada, tidak harus mahal, misal pepaya atau pisang,” tuturnya.

Menurutnya, masyarakat lebih mudah diedukasi dengan cara melengkapi kebiasaan makannya sehari-hari, “Lumrahnya di kita itu kalau sarapan dengan nasi, nasi goreng misalkan. Tidak nasi goreng saja. Nah, kita berikan edukasi lagi, tambahin atuh telur, tambahin atuh sayur sosin di dalamnya, kayak gitu. Jadi, kita melengkapi apa yang sudah menjadi kebiasaan mereka, dilengkapi dengan yang lebih baik, itu lebih masuk” tambahnya.

Wida juga membenarkan makanan bergizi tidak perlu mahal dan sebetulnya bisa diakses siapapun. Masyarakat bisa memanfaatkan pangan lokal yang dimiliki Indonesia, menurutnya, pangan lokal bukan hanya segar dan kaya akan zat gizi, harganya pun relatif ekonomis. “Ikan-ikan kembung itu kan lebih tinggi proteinnya dibanding salmon,” ungkapnya.

Meskipun daya ekonominya menengah ke bawah, menurutnya bisa di siasati dengan mengganti lauk protein hewani ke lauk protein nabati yang tidak kalah akan zat gizinya, yang terpenting dalam sehari bisa memenuhi kebutuhan zat gizi baik itu karbohidrat, protein, lemak dan vitamin sesuai aktivitas dan usia masing-masing. “Yang penting pemahaman masyarakat aja, ini menjadi usaha kita semua harus bisa mempromosikan dan edukasi ke masyarakat gitu,” lanjutnya.

Dispakan sendiri gencar melakukan edukasi dan sosialisasi ke masyarakat umum dan sekolah-sekolah, bahkan untuk sekolah sudah sampai pada keamanan pangannya bekerjasama dengan Badan Pengawan Obat dan Makanan (BPOM). Dalam mengedukasi masyarakat, Dispakan sendiri dibantu oleh 31 agen piloting B2SA di 31 kecamatan.

“Dan tahun ini, di bulan April sampai September, akan ada 25 orang yang menjadi responden per kecamatan. Nantinya mereka pola makannya kita ukur. Kita hitung setiap bulan, dipantau naik atau tidak skor PPH-nya. Kenaikan itu nanti serta-merta juga dengan kesadaran masyarakat,” ungkapnya.

Pola Pangan Harapan (PPH) merupakan salah satu indikator capaian target kualitas konsumsi pangan masyarakat. Menurut survei yang dilakukan pada tahun 2023, skor PPH di Kabupaten Bandung hanya berada pada angka 85,6. Angka ini menandakan bahwa konsumsi pangan masyarakat belum mencapai level yang ideal, sehingga masih banyak hal yang perlu diperbaiki, terutama keragaman pagan dan keseimbangan asupan pangan.

Belum makan kalau tidak ada nasi

Sebenarnya masih banyak kebutuhan masyarakat yang memang Dispakan perlu hadir di tengah-tengah masyarakat. Tapi Dispakan sendiri juga mengakui banyak terkendala dengan anggaran dan juga keterbatasan waktu, membagi kegiatan dengan yang lain.

“Kalau ketersediaan oke, tidak masalah di Kabupaten Bandung. Hanya tinggal pemahaman masyarakatnya. Meskipun kita memberikan ketersediaannya bagus banyak, kalau masyarakatnya tidak mengerti apa saja yang harus dia belanjakan dengan uang, misalkan Rp 50 ribu,” katanya.

Menurutnya, masih banyak masyarakat yang ‘sangu minded’, merasa belum makan jika belum makan nasi. Tidak heran skor PPH Kabupaten Bandung untuk beras di atas 25. Sedangkan untuk sayur, buah-buahan, umbi-umbian dan pangan hewani skornya masih kurang dan perlu digenjot lagi. Hal ini masih menjadi pekerjaan rumah bagi Dispakan.

Sebagai upaya membantu masyarakat mendapatkan pangan dengan harga stabil dan terjangkau, setiap hari Jumat, Dispakan menggelar Gerakan Pangan Murah (GPM) di depan kantornya di Komplek Pemda Soreang. Ada sembilan bahan pokok yang dijual seperti ayam, daging, sayuran, beras, gula, terigu, minyak dan masih banyak lagi. “Jadi sekaligus ya memberikan edukasi kepada masyarakat juga bahwa ‘nih, Kabupaten Bandung itu penghasil sayuran’. Makanya dijualnya di sini kan Rp 5 ribu per pax, ada juga yang Rp 10 ribu per pax,” jelasnya.

Gerakan Pangan Murah (GPM) di Dispakan Kabupaten Bandung setiap Jumat pagi.

Selain itu, gelaran GPM besar juga diadakan sebanyak 10 kali di kecamatan-kecamatan se-Kabupaten Bandung. Antusiasmenya sangat besar, bahkan ada kecamatan yang dalam satu jam habis, waktu itu Dispakan ingat membawa telur tiga kwintal dan beras Bulog tiga ton.

“Tahun 2023 beras itu sempat habis, nggak ada dan sempat mahal sekali. Makanya kita kerja sama dengan Bulog untuk melakukan GPM tapi hanya beras saja, disubsidi Rp 1 ribu per kilo. Itu hampir setiap hari, tiga sampai empat kali melakukan GPM. Itu antriannya panjang sekali,” katanya.

Untuk telur, minyak dan beras memang harganya terus fluktuatif, berbeda dengan sayur mayur yang cenderung stabil. Dispakan sendiri memiliki lima orang enumerator, enumerator konsumen dan enumerator produsen untuk memantau kondisi harga di pasar bekerjasama dengan Dinas Perdagangan dan Perindustrian (Disdagin) Kabupaten Bandung.

Ketahanan pangan

Selain ketersediaan dan keterjangkauan pangan bagi masyarakat, Dispakan terus mengupayakan memperkuat ketahanan pangan Kabupaten Bandung, yang terbaru adalah program penanaman padi gogo terintegrasi di Arjasari bekerjasama dengan Fakultas Pertanian Universitas Padjadjaran (Unpad), dengan merevitalisasi 200 hektare lahan kering tidak produktif menjadi lahan produktif.

Setiap hektare lahan ditargetkan mampu menghasilkan setidaknya 10 ton padi gogo dari awalnya hanya 4 ton per hektare. Bupati Kabupaten Bandung, Dadang Supriatna juga optimistis program padi gogo terintegrasi ini mampu panen selama 4 kali dalam setahun. “Semoga ini menjadi kontribusi nyata bagi ketahanan pangan nasional dan semoga usaha kita menjadi berkah bagi kita semua,” kata Kang DS, panggilan akrabnya dikutip dari laman Kabupaten Bandung.

Selain sektor pertanian, Dispakan juga terus mengembangkan sektor perikanan dengan merangkul UMKM-UMKM di Kabupaten Bandung. “Sebelah GPM tadi ada pasar olahan pangan ikan khusus. Jadi semua olahan ikan dari bakso, cuanki, pindang sampai abon dan olahan ikan lainnya ada disitu,” ungkap Haslili.

Ada juga bidang budidaya yang menggiatkan masyarakat yang ada di Kabupaten Bandung untuk membudidayakan ikan hias selain dari ikan yang bisa dikonsumsi. Ikan hias sendiri, menurut Dispakan trennya sedang bagus, banyak permintaan pasar lokal dan ekspor.

Restocking masih terus kita berjalan, restocking ikan ke aliran-aliran sungai di Kabupaten Bandung. Supaya habitat ikan yang ada di sana terjaga dan bisa dimanfaatkan oleh masyarakat sekitar,” pungkasnya.

Kesehatan masyarakat bisa dibangun dari rumah, dari isi piring yang dikonsumsi setiap hari. Mengandalkan program pemerintah, seperti MBG, tentu tidak akan cukup. Perlu upaya edukasi dan intervensi yang jitu untuk memastikan pangan bergizi yang terjangkau untuk masyarakat. [*]

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Terpopuler

ORDER MERCHANDISE

Bingung cari konten yang aman untuk anak?
 
Dapatkan rekomendasi menarik dan berikan pendapatmu di Screen Score!
Ilustrasi melatih anak bicara/Bukbis Ismet Candra Bey/digitalMamaID