#KaburAjaDulu Ekspresi Kemarahan Anak Muda pada Pemerintah

#KaburAjaDulu
Share

digitalMamaID – Tagar #KaburAjaDulu tengah viral belakangan ini di jagat maya Instagram dan X. Tagar #KaburAjaDulu ini berisi ajakan warganet untuk ‘kabur’ atau pergi ke luar negeri demi meraih kesempatan dan kehidupan yang lebih baik. Lewat tagar ini, warganet saling memberikan informasi terkait lowongan pekerjaan, upah, beasiswa pendidikan, sampai pengalaman hidup di luar negeri.

Tagar ini lahir sebagai bentuk kekecewaan dan rasa frustasi anak-anak muda atas kebijakan-kebijakan pemerintah yang akhir-akhir ini tak menunjukkan keberpihakkan pada rakyat. Berawal dari program Makan Bergizi Gratis hingga efisiensi anggaran, yaitu pemangkasan Rp 306,69 triliun dari APBN 2025 yang berdampak pada berbagai sektor, khususnya sektor krusial seperti pendidikan.

Situasi ini juga makin diperparah dengan banyak pegawai yang dirumahkan, kurangnya lapangan pekerjaan, sulitnya mencari pekerjaan, upah yang rendah sampai persyaratan bekerja yang bikin geleng-geleng.

Desy (33), pegawai di salah satu perusahaan arsitektur dan desain interior di Bandung mengaku turut mendukung gerakan ini. Ia mengatakan, munculnya tagar ini seharusnya menjadi bahan introspeksi pemerintah.

“Pertama nih, rekrutmen kerja, syarat usia maksimal 25 tahun tapi pengalaman kerja dua tahun bahkan ada yang lima tahun, nggak masuk akal. Di Indonesia juga kan nggak bisa part time jadi kasir di minimarket. Kadang juga ada syarat yang harus dari reputable university,” ungkapnya kepada digitalMamaID, Sabtu, 22 Februari 2025.

Sepengalamannya dulu bekerja dengan orang Belanda, mereka hanya melihat berdasarkan skill bukan ijazah, sekolah, atau nilai-nilai di atas kertas. “Jadi nggak peduli mau SMA, atau nggak sekolah sekalipun yang penting bisa desain dan terbukti di depan mata langsung, diterima,” ungkapnya.

Batas umur tak masuk akal

Jessika (32), salah seorang diaspora yang sudah sembilan tahun tinggal di Dortmund, Jerman mengakui, selain upah yang kecil, persyaratan kerja di Indonesia juga dirasa aneh. Misalnya soal batasan usia yang tidak ia temukan di Jerman. “Nenek-nenek, kakek-kakek bisa jadi kasir,” ungkapnya ketika dihubungi Sabtu, 22 Februari 2025.

Walaupun begitu, dirinya tak setuju 100 persen dengan #KaburAjaDulu. Menurutnya, perlu keterampilan yang menjanjikan untuk bisa pindah atau bekerja di luar negeri. Karena tidak semua negara penerima juga menyediakan pelatihan-pelatihan dasar seperti bahasa. Di Jerman sendiri bahkan untuk bahasa menjadi tanggung jawab sendiri atau guest family.

Selain adaptasi bahasa juga ada masalah cuaca, makanan, bahkan kebersihan. “Di Jerman itu nggak semua orang mau atau bisa diajak ngobrol pakai Bahasa Inggris, terutama orang tua,” ungkapnya.

Soal kebersihan sendiri, Jessika menilai MRT dan LRT Jakarta jauh lebih bersih ketimbang di Jerman. Di Jerman toilet umum bau pesing karena tidak adanya bidet dan banyak gelandangan. “Paling karena orang Indonesia mayoritas muslim bisa sih disiasati dengan bawa bidet portable,” lanjutnya.

Makanan juga menjadi salah satu tantangan tersendiri untuk Jessika, ia mengaku rindu dengan makanan-makanan Indonesia. Jika harus membuat, kadangkala ada bahan-bahan yang sulit didapatkan. Jika menggunakan jasa antar makanan, sangat mahal, kadang melebihi harga makanannya sendiri.

Namun di balik tantangannya, menurutnya, pindah dan bekerja di luar negeri juga punya banyak nilai tambah. Misalnya saja gaji yang tinggi, fasilitas yang layak, jam kerja yang manusiawi, dan work life balance bagi yang terampil.

Kemarahan anak muda

Menurut Dosen Peneliti Sekolah Bisnis dan Manajemen ITB, Muhammad Yorga Permana dalam acara Rosi di Kompas TV, ada tiga perspektif yang menyebabkan kemarahan anak muda. Pertama, kebijakan yang tidak berpihak kepada anak muda dalam mencari pekerjaan, yaitu lapangan kerja layak yang sangat terbatas. “Ini menjadi pematik, lalu ada kebijakan-kebijakan yang harus viral dulu baru dibatalkan,” katanya.

Perspektif kedua, kata-kata #KaburAjaDulu, berarti ada peluang di luar negeri, memperbaiki penghidupan di luar negeri ini dianggap bisa jadi salah satu alternatif. Sebetulnya peluang ke luar negeri selalu ada tiap tahun. “Kali ini meledak, karena dengan adanya media sosial, orang melihat ada beasiswa, ada pekerjaan di luar negeri, globalisasi, ada pilihan lain. Jadi muncullah hashtag ini,” ungkapnya.

Ketiga, bagaimana menyiapkan anak muda Indonesia untuk transisi dari sekolah ke kerja. “Kita juga perlu bicara bagaimana anak-anak muda kita lebih resiliens, kompetensi apa yang perlu siapkan ketika dari dunia sekolah ke dunia kerja, entah itu lulusan SMA atau perguruan tinggi,” lanjutnya.

Menurutnya, banyak anak muda yang khawatir akan masa depannya. Sementara kebijakan-kebijakan pemerintah dengan adanya pengetatan anggaran, kabinet yang gemuk, terlihat pemerintah tidak serius membahas kesempatan anak-anak muda untuk bekerja.

 

View this post on Instagram

 

A post shared by digitalMamaID (@digitalmamaid)

Kesenjangan global

Oki Rahadianto Sutopo, Sosiolog Universitas Gadjah Mada (UGM) menilai, tren #KaburAjaDulu merupakan bentuk refleksi atas kesenjangan global yang terjadi saat ini. “Mungkin lebih sebagai bentuk kesadaran bahwa ada kesenjangan global dan sebenarnya mereka (anak muda) sedang mencoba mencari cara untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik,” katanya dikutip dari Kompas.com.

Kesenjangan global yang dimaksud meliputi perbedaan jaminan kesehatan, kualitas pendidikan, kesempatan lapangan kerja, serta kebebasan anak muda untuk berekspresi yang diberikan oleh suatu negara. Dia menjelaskan, #KaburAjaDulu bukan semata-semata menjadi jalan pintas bagi anak muda untuk melarikan diri dari keadaan yang sedang dihadapi dan bukan pula mereka tidak nasionalis atau tidak cinta Tahah Air.

Kendati demikian, tren #KaburAjaDulu bisa menjadi kritik bagi pemerintah untuk menyediakan jaminan hidup yang lebih layak. Dengan begitu tidak terjadi kesenjangan yang mencolok. “Kondisi ini seharusnya juga menjadi kritik bagi pemerintah untuk melihat apa yang sudah mereka lakukan. Misalnya, penyusunan kebijakan yang berpihak ke anak muda,” kata Oki.

Badan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI) merilis data penempatan dan pelindungan Pekerja Migran Indonesia (PMI) periode Januari-November 2024 pada 5 Desember lalu. Mengacu laporan tersebut, totalnya ada 272.164 pekerja yang tercatat bekerja di luar negeri sepanjang 2024.

Tercatat, sebanyak 145.962 orang bekerja di sektor informal dan didominasi pekerja perempuan sejumlah 187.127 orang. Menurut BP2MI, 10 negara yang paling banyak menjadi tujuan para pekerja migran selama periode 2024, yaitu Hong Kong (92.836 orang), Taiwan (79.031 orang), dan Malaysia (43.833 orang). Disusul dengan Jepang (11.758 orang), Korea Selatan (9.870 orang), dan Singapura (9.739 orang). Selanjutnya ada Arab Saudi (7.183 orang), Italia (3.177 orang), Brunei Darussalam (2.852 orang), dan Turki (2.561 orang). [*]

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Terpopuler

ORDER MERCHANDISE

Bingung cari konten yang aman untuk anak?
 
Dapatkan rekomendasi menarik dan berikan pendapatmu di Screen Score!
Ilustrasi melatih anak bicara/Bukbis Ismet Candra Bey/digitalMamaID