Jawa Barat darurat judi online! Perempuan pada akhirnya harus menanggung beban lebih berat akibat judi online yang terus menggerus kehidupan masyarakat. Meski sudah kronis, isu ini tidak mendapat sorotan selama Pilkada Jawa Barat 2024. Janji kampanye yang ditawarkan belum menyentuh akar persoalan.
Sore itu hujan cukup deras, Sita (bukan nama sebenarnya) menyetir mobilnya pelan sembari sesekali mendengar koleganya membahas proyek mendatang lewat aplikasi Zoom. Hari-harinya begitu sibuk. Setelah perceraiannya, ia berganti peran menjadi tulang punggung keluarga untuk membiayai anaknya.
Tahun 2021, suaminya yang seorang site engineer di perusahaan multinasional di Jakarta, kecanduan judi online (judol). Suaminya bahkan sampai berutang di bank dan terlilit banyak pinjaman online (pinjol) legal maupun ilegal. Harta bendanya habis. Tabungan hingga uang sekolah anak pun dipakai demi memenuhi hasratnya bermain judol.
“Awalnya dia bilang main saham, aku saat itu nggak masalah. Aku pikir nggak apa-apa untuk invest asal jangan ganggu nafkah. Tapi kok aneh, karena aku melihat hasilnya sudah 19 juta-an. Dia (saham) kan pergerakannya lambat ya, kalau belum setahun tuh paling naiknya cuma beberapa puluh ribu atau ratusan ribu,” katanya sambil menyesap Black Lemonade-nya. Sita masih ingat betul runtutan kejadian yang menimpanya tiga tahun ini.
Saat itu, Sita yang sedang menjalani program hamil, tiba-tiba dihubungi oleh suaminya via WhatsApp untuk segera menjual tanah mereka di Cicalengka. Ternyata, suaminya memiliki hutang pinjol sekitar Rp27 juta. “Keluarga aku tahu saat itu, daripada jual tanah dan belum tentu langsung laku, jadi akhirnya ayah beli motor aku,” jelasnya saat ditemui di Bandung, awal Desember 2024.
Namun, setelah uang terkumpul, ternyata hutangnya sudah membengkak menjadi Rp50 juta. Setelah diselidiki, suaminya justru diam-diam meminjam lagi ke kantornya untuk dipakai bermain judol. Sita dan keluarganya lagi-lagi mencari jalan keluar untuk melunasi utang dengan meminjam ke kerabat terdekat.
“Tapi, ternyata jumlah utang yang dia kasih tahu ke aku itu nggak penuh, dia tutupin. Ternyata ketika aku breakdown itu teh Rp80 juta. Terus ngapain, sia-sia sekarang kita cari solusi kalau nggak full, nggak tuntas, nggak akan beres-beres itu. Sampai hampir mau pinjem uang pakai nama ayahku, aku nggak mau,” lanjutnya.
Setelahnya keadaan makin memburuk. Suaminya sering menghilang tanpa kabar bahkan di momen penting seperti lebaran. Sita sudah tidak tahu lagi nominal gaji, bonus atau THR yang diterima suaminya. Lama-kelamaan bahkan tidak ada sepeserpun nafkah, baik untuk anak dan dirinya sendiri. Saat dipulangkan ke rumah orang tuanya, Sita tahu dari ayahnya bahwa utang suaminya sudah sampai ratusan juta. Akhirnya Juli 2023, Sita mengajukan gugatan cerai.
“Sempat perang batin, nangis-nangis karena kasihan anak. Karena saat itu nggak kerja, nggak punya apa-apa lagi. Beberapa kali juga suami minta maaf dan janji berubah tapi polanya berulang terus selama tiga tahun, gitu lagi-gitu lagi, berarti sudah jadi habit. Sampai mau di tahap apa sih? Mau sampai hutang berapa?” ungkap Sita muak.
Kerentanan digital
Jawa Barat sudah darurat judi online. Situasi ini semakin mengkhawatirkan dari tahun ke tahun, bukan hanya merusak diri sendiri tapi juga orang-orang di sekelilingnya, bahkan sudah menghancurkan banyak keluarga. Perempuan menjadi yang paling terdampak. Tidak sedikit perempuan yang akhirnya merugi baik materiil dan psikis akibat ulah suami atau anaknya yang bermain judol. Perempuan menanggung beban paling besar dalam keluarga, jatuh miskin, berganti peran menjadi tulang punggung keluarga, menanggung beban hutang yang terus bertambah, dikejar debt collector, berurusan dengan hukum, bahkan tak sedikit yang kemudian menjadi korban kekerasan.
Pusat Pelaporan Analisis dan Transaksi Keuangan (PPATK) mengungkapkan transaksi judi online di Indonesia sudah mencapai Rp283 triliun, memasuki semester II 2024. Jumlah ini cenderung naik 237,48 persen dari tahun sebelumnya. Jawa Barat menjadi wilayah tertinggi transaksi judi online, yaitu sebanyak Rp49,8 miliar dengan jumlah transaksi sampai 459 ribu kali.
Menurut Tomi Setiawan, dosen Ilmu Politik dan Ilmu Sosial Universitas Padjadjaran, judi online menjadi salah satu kerentanan baru dalam masyarakat, yaitu kerentanan digital. Kelompok-kelompok ketidak-beruntungan digital ini, menghadapi beberapa hambatan seperti kurangnya akses, literasi digital, dan kesadaran yang mencegah mereka mendapatkan manfaat penuh dari transformasi digital. Mereka rentan terhadap gangguan dalam lingkungan yang manipulatif melalui “pola gelap” dan strategi pasar digital yang dapat mengganggu pengambilan keputusan.
Intervensi pemerintah
Sejauh ini intervensi yang dilakukan pemerintah hanyalah sebatas kewenangan yang diamanahkan, yaitu membuat regulasi, menindak, memutus serta memblokir akses. Menurut pakar neuorsains Dr. Tauhid Nur Azhar, pendekatan seperti itu tidak menyelesaikan persoalan sampai ke inti. “Kalau hanya bikin aturan dan memberhentikan akses (blokir), era teknologi ini kan nggak bisa dibatasi. Satu ditutup, ya beli domain baru, gampang kok,” tuturnya saat ditemui langsung di kawsan Jalan LLRE Martadinata, Kota Bandung, Jumat, 13 Desember 2024.
Menurutnya, harus ada pendekatan yang sifatnya komprehensif dan riset yang mendalam untuk mengetahui akar permasalahan yang sesungguhnya. “Pemerintah tidak pernah melakukan riset mendalam, yang tahu banyak itu OJK, BI, PPATK banyak yang bermain di dark economy, yang berputar di hal-hal yang tidak tercatat. Nah, pada akhirnya instrumen itu saja yang jadi panduan, padahal ketika kita berbicara judi, judi ini kan pengambilan keputusan yang sifatnya sangat intensif di manusianya,” ungkapnya.
Pemerintah perlu membuat terobosan dalam meregulasi dan menindak pelaku judol ini. “Pemerintah ini kan punya power, tinggal buat Perda Jawa Barat, barang siapa yang terdeteksi IP-nya pernah masuk ke salah satu situs judi online, maka tidak bisa dapat layanan pemerintah, misalnya atau keluarin SMS/WA ‘anda terdeteksi masuk situs judol, ancamannya pidana sekian,” lanjutnya.
Janji politisi di Pilkada 2024
Cagub dan Cawagub Jawa Barat di Pilkada 2024 juga tidak terlalu banyak yang menyentil isu kerentanan digital ini. Dari keempat pasangan calon, pasangan Acep Adang Ruhiat dan Gitalis Dwinatarina yang bersuara terhadap isu ini. Dari pernyataan yang ditayangkan di Tribun Jabar, Acep berpendapat, masalah besar yang harus diatasi adalah ketidakmampuan sebagian masyarakat untuk memenuhi kebutuhan dasar mereka.
Ia menilai, masalah ini berawal dari dorongan untuk memiliki apa yang dimiliki orang lain, tanpa mempertimbangkan kemampuan diri sendiri. Untuk itu, ia berkomitmen untuk memperkenalkan kebijakan yang akan lebih banyak peluang ekonomi bagi warga Jawa Barat. Salah satu fokusnya pemberdayaan wirausaha melalui Kartu Keluarga Bahagia, Kartu Wirausaha dan Pra-Kerja. Ia juga menjanjikan membangun 5.000 lapangan olahraga dan 27 gedung seni untuk meningkatkan kreativitas dan keterampilan.
“Pembangunan fasilitas-fasilitas ini bertujuan untuk memberikan ruang bagi anak muda untuk mengembangkan potensi mereka, menghindari keterlibatan dalam aktivitas-aktivitas negatif dan menciptakan lapangan kerja yang luas. Tiap gedung nanti dilengkapi dengan perpustakaan untuk meningkatkan daya baca dan memberikan pengetahuan tambahan kepada masyarakat,” ungkapnya.
Menurut Tauhid, program yang ditawarkan Acep-Gita ini menarik dan menyehatkan. Namun, apakah program ini bisa mereduksi persoalan yang ada? Tegas ia mengatakan, tidak. “Karena dari segi dopamin itu nggak setara. Seperti kamu memilih antara steak wagyu dan asin peda, gitu lah kira-kira,” jelasnya.
Belum menyentuh akar masalah
Sependapat dengan Tauhid, Ressa Ria selaku founder Samahita Foundation berpendapat, solusi yang ditawarkan pasangan Acep-Gita dinilai tidak apple to apple. “Pemerintah seringkali nggak bikin baseline riset yang proper untuk bikin program. Maksudnya CSO aja kalau mau buat program tuh bikin baseline dulu. Kayaknya pemerintah nggak ada riset. Kalaupun ada, nggak dimanfaatkan, risetnya cuma jadi dokumen baseline aja,” ujarnya saat ditemui di Bandung, Rabu, 4 Desember 2024.
Menurutnya, akar masalahnya ada di literasi. Bukan dengan memperbanyak ruang baca tapi sebenarnya meningkatkan minat baca. “Nah, masalahanya kita nggak dibangun minat masyarakat teh apa sih. Jadi orang akan baca kalau dia berminat pada isu tertentu,” katanya.
Membangun perpustakaan tematik salah satunya yang cukup masuk akal. “Jadi misalkan di Cisitu, masyarakatnya tertarik apa sih, ya udah perpustakaan tematik tentang itu. Adalah pasti yang akses, dua atau tiga orang ke perpustakaan itu,” lanjut Ressa.
Sedangkan untuk program bantuan kewirausahaan, UMKM atau bansos, menurut Tauhid cukup baik, hanya saja mekanisme kontrol dalam pemanfaatannya sulit, kecuali pemerintah memang punya sistem yang bagus. Sepengalamannya dalam evaluasi CSR saja, ternyata hampir 60 persen bantuan dana digunakan untuk konsumsi, seperti membeli HP atau motor.
Hal tersebut terjadi menurutnya, karena dana CSR itu sendiri memang agak lemah, dalam pengertian tidak terlalu banyak menuntut pertanggungjawaban penggunaan karena, itu bantuan. Sementara jika konsepnya seperti kredit usaha mikro, memang harus ada jumlah pokok yang harus dikembalikan atau laporan bulanan, laporan tahunan. Jika seperti ini, tingkat partisipasi warga akan rendah karena dinilai rumit.
Ressa sendiri mendukung jika bantuan yang diberikan seperti program-program Kredit Usaha Rakyat (KUR) dan mempermudah aksesnya ketimbang, bantuan tunai. Karena, menurutnya tidak semua orang punya literasi finansial yang baik. Bantuan tunai itu dinilai tidak berkelanjutan dan kurang memberdayakan. “Tapi lebih mending membuat sekolah gratis, pendampingan usaha misalnya, itu lebih berarti,” tuturnya.
Empat motif terjerat judol
Berdasarkan data Desk Penanganan Judi Online, pemain judol berasal dari berbagai kalangan. Data yang ada menunjukkan, 1,9 juta orang merupakan pegawai swasta, 960 ribu orang dari kalangan mahasiswa dan pelajar, 96 ribu orang merupakan aparat TNI/Polri, serta 80 ribu korban anak-anak. Persoalan kompleks yang melibatkan banyak kalangan dengan latar belakang pendidikan, pendapatan dan profesi yang berbeda ini tentu pemantiknya tidak tunggal, tidak sama satu dengan yang lainnya.

Menurut hipotesa Tauhid setidaknya ada empat motif. Motif pertama adalah uang, untuk mencari beneficiary secara finansial, karena pendapatannya tinggi, pengeluarannya juga ikut tinggi. Judi online akhirnya jadi solusi finansial karena disparitas antara ekspektasi dengan fakta-fakta.
Motif kedua, ada tekanan atau tuntutan, bukan hanya uang tapi tuntutan target. “Memangnya dengan kita jadi manajer di salah satu BUMN hidup sudah tenang? Kan tidak. Justru setiap saat bisa dijegal orang dan masalah makin banyak artinya, tanggung jawab dia makin besar. Nah dia berjudi murni entertain,” ungkapnya.
Lebih lanjut, tekanan yang tinggi ini meningkatkan hormon cemas yang disebut kortisol. Salah satu yang bisa mengobati kortisol itu adalah dopamin. Jadi motifnya bukan uang tapi healing yang menyimpang untuk mengobati stres.
Motif ketiga agak unik, yaitu challenging. “Bagi orang-orang pintar, bagi orang yang sukses dalam bisnis, biasa negosiasi, biasa gambling dalam tingkatan level mempertaruhkan investasi triliunan. Judi-judi seperti ini tuh seperti suatu permainan rubik buat mereka,” lanjutnya.
Dalam kasus ini banyak yang terjebak bukanlah orang-orang bodoh, melainkan orang-orang terpelajar. Bukan karena persoalan terpengaruh teman atau butuh uang, tapi lebih ingin membuktikan diri sendiri. Judi seolah menjadi ajang pembuktian.
“Biasanya orang-orang yang barangkali self esteem-nya ada masalah. Biasanya juga kalau kita tarik lagi ke hubungan rumah tangga tuh, ada inner bonding yang bermasalah, dia inferior terhadap pasangan. Ya, ingin menunjukkan kepada dirinya sendiri, bahwa saya punya ‘kabisa’ ceuk orang sunda mah,” katanya.
Motif keempat adalah resiliensi dan resistensi. “Kita itu kan amat bergantung pada level of literasinya. Orang di beberapa negara lain yang literasinya bagus itu sudah tahu, mengerti algoritma judi itu buntut-buntutnya kita tidak akan pernah menang. Dia terliterasi dengan sangat baik, beda dengan kita,” lanjutnya.
Dopamin, adiksi, dan gangguan mental
Hasil penelitian biopsikologi, bermain judol menyebabkan banjir dopamin yang wujudnya kegembiraan tiada batas. ”Dengan segala latar belakang yang menurut kita bagus, sampai membuat sebuah keputusan besar untuk menceburkan diri dalam judi online, berarti dia menemukan suatu kegembiraan yang membuat exciting,” jelas Tauhid.
Algoritma permainannya sendiri memang memainkan dinamika-dinamika dopamin. Satu kali langsung menang, tiga kali kalah terus, keempat menang. Jadi melihat status mental dari pemain karena psikografi tiap pemain sudah terekam ketika bermain. “Jadi supaya terikat, dopamin harus dibanjiri dulu. Begitu tiga kali menang, langsung banjir dan merasa easy money, merasa berbakat,” lanjutnya.
Kegembiraan semu ini yang membuat akhirnya kecanduan, tidak bisa berhenti. Jika sudah begitu bagaimana mengobatinya? “Teori saya, orang yang stres berat perlu banjir dopamin lagi, kalau nggak punya substitusinya, ya judi lagi. Siklus terus menerus. Akhirnya banyak yang bunuh diri. Rata-rata ini menjadi masalah psikologis, stres yang tidak dikelola dengan baik menimbulkan depresi berkepanjangan. Lama kelamaan berubah jadi depresi tingkat mayor (major depression) yang pada akhirnya tadi, bisa muncul kecenderungan suicide,” katanya.
Jika sudah pada tahapan kecanduan, dampaknya jadi gelisah, tidak bisa bekerja, tidak bisa berpikir, kacau di semua bidang yang ditekuni. Tauhid mengatakan, itu sudah masuk ke dalam gangguan mental, ICD F-11. Penanganannya sendiri harus dengan profesional dan obat-obatan.
Kegembiraan puncak dan ketakutan mendalam
Tauhid mengatakan, di dalam otak ada daerah subkortikal. Daerah yang berisi saraf-saraf yang sangat peka terhadap dopamin. Disebut juga dengan daerah hadiah dan pusat kenikmatan (reward and pleasure centre). Tauhid mengatakan, sistem tersebut bermanfaat agar manusia punya motivasi. Jadi kegembiraan itu motivasi untuk menentukan masa depan. Sedangkan ketakutan itu untuk melindungi manusia agar tetap bertahan hidup. Tauhid menyebut, hal itu memberikan gambaran judi online itu berada di antara kedua hal: kegembiraan puncak dan ketakutan terdalam.
“Pemerintah bisa menerapkan teknik psikologi ini, beneran punishment-nya. Mau itu cuma pengguna, mau itu cuma sekali, hukumanya sekian, jelas. Atau tawarkan kegembiraan yang lebih dari itu. Tentu preferensi tiap orang berbeda, maka dari itu perlu tindakan-tindakan penanganan yang scientific based, itu krusial,” pungkasnya.
Sebetulnya pemerintah sendiri sudah memiliki payung hukum yang jelas mengenai perjudian dan judi online ini, yaitu Pasal 303 bis KUHP, Pasal 303 KUHP, Pasal 426 dan Pasal 427 UU 1/2023 KUHP baru, yang berlaku tiga tahun sejak diundangkan. Lalu spesifik untuk judi online sudah diatur dalam Pasal 27 ayat (2) jo dan Pasal 45 ayat (3) UU 1/2024 berupa pidana penjara maksimal 10 tahun dan/atau denda paling banyak Rp 10 miliar.
Namun belum terlihat penegakan hukum judi online ini. Persoalan ini, semestinya dituntaskan dari hulu sampai hilir. Mulai dari pengguna sampai bandarnya. Jika masih penanganannya masih tebang pilih, persoalannya tak akan kunjung tuntas. [*]






