Sebagai seorang ibu yang bekerja dari rumah, saya dulu spaneng kalau lihat daftar to-do-list vs kerjaan rumah tangga dan ngurus anak. Begitu pula kalau mendadak ada keluarga jauh datang berkunjung, atau acara keluarga, yang tentu akan memangkas waktu bekerja saya. Akibatnya, saya sering emosi karena menganggap anak mengganggu hak saya, juga sering iri dengan suami saat ia bisa selalu me-time.
Tapi kemudian, saya menghitung berapa lama sih waktu efektif untuk bekerja yang saya butuhkan setiap hari. Ternyata, tidak lebih dari 2 jam. Sisanya lebih banyak ada di depan laptop tapi nggak fokus karena sibuk cek email, cek whatsapp, atau bolak-balik ke meja makan cari camilan. Kalau saya tetap tidak fokus seperti ini, anak bisa jadi korban buruknya manajemen waktu dan pikiran saya, dong.
Akhirnya, saya mencoba untuk mengatur waktu. Pagi hari yang biasanya saya “curi” untuk nyicil kerjaan, saya alokasikan khusus untuk melakukan rutinitas pokok: solat dan rangkaiannya, senam, baru ke dapur untuk cuci piring dan masak. Syukurlah suami mau membantu menyuapi anak atau mendampingi si sulung sekolah daring. Jika ini terlaksana, jam 8 saya tinggal sarapan, mandi, dan bekerja. Selesai zoom, si sulung akan bermain dengan adiknya seharian dan saya jump inhanya ketika mereka mau bermain bersama saya dan ketika makan siang.
Nah, ketika si sulung kembali sekolah tatap muka, si bungsu jadi tak punya teman main. Awalnya memang berat “mengorbankan” jam kerja saya untuk mendampinginya. Tapi, saya teringat bahwa usianya yang 4,5 tahun dan belum bersekolah membutuhkan stimulasi lebih. Siapa lagi kalau bukan saya yang menjadi gurunya.
Mindset bahwa ini adalah pengorbanan menjadi hilang ketika saya membaca ulang buku Enlightening Parenting yang mengatakan bahwa anak adalah tamu istimewa yang kita undang dengan sadar. Malu rasanya sempat menganggap anak-anak yang menyayangi saya dengan tulus ini mengganggu hidup saya… Akhirnya saya bisa menikmati menghabiskan waktu bersama si bungsu.
Percaya atau tidak, saat ia sudah merasa cukup dengan kita, ia pun butuh waktu sendiri. Main sendiri. Saya pun bisa kembali ke laptop dengan bahagia, tanpa interupsi dari anak yang sebentar-sebentar “Ibu!” karena seperti tak ikhlas saya mengabaikannya.
Intinya, saya berusaha menjalani peran ganda ini dengan ikhlas. Karena ternyata, beban muncul dari ketidakikhlasan…
Bukenipp