Greenpeace: Tiga Menteri Bertanggung Jawab Atas Tragedi Banjir Sumatera

Kondisi banjir di Kabupaten Aceh Selatan, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Petugas Gabungan telah turun ke lokasi terdampak, Kamis, 28 November 2025/Dok. BPBD Kabupaten Aceh Selatan
Share

digitalMamaID — Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat kenaikan jumlah korban jiwa dalam bencana hidrometeorologi yang menimpa Provinsi Aceh, Sumatera Barat dan Sumatera Utara sebesar 940 orang pada Minggu, 8 Desember 2025. Sebanyak 366 korban meninggal di Aceh, 226 di Sumatera Barat, dan 329 di Sumatera Utara.

Manager Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia, Iqbal Damanik menyoroti tiga menteri yang harus bertanggung jawab di balik bencana banjir dan longsor tersebut. Tiga menteri ini antara lain Menteri Lingkungan Hidup, Menteri Kehutanan, dan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM).

“Menurut saya ada tiga menteri yang bisa kita mintai pertanggung jawaban. Pertama Menteri Kehutanan Raja Juli Antoni karena dia adalah orang yang memberikan izin-izin terhadap perhutanan, melakukan pengelolaan dan pengawasan terhadap kawasan hutan. Jadi pengawasan ini harus ya bukan cuma menerbitkan izin saja,” kata Iqbal dalam Podcast Abraham Samad SPEAK UP pada Selasa, 2 Desember 2025.

Kemudian, Menteri ESDM Bahlil Lahadalia yang dianggap memiliki kewenangan untuk memberikan izin pada aktivitas pertambangan, baik di dalam maupun di luar kawasan hutan.

“Izin itu kan melekat dengan pengawasan ya jadi kalau dia tidak mengawasi maka ada kegagalan di sana, termasuk Menteri Lingkungan Hidup Hanif Faisol. Karena apa? Karena beliau adalah orang yang menerbitkan AMDAL untuk menganalisis apakah izin itu layak untuk diterbitkan atau tidak,” ungkapnya.

Bukan sekadar anomali cuaca

Sehingga menurut Iqbal, anomali cuaca bukanlah penyebab satu-satunya atas bencana hidrometeorologi yang menimpa Provinsi Aceh, Sumatera Barat dan Sumatera Utara. Tetapi juga karena ada faktor pembiaran dan kebijakan yang salah sehingga terjadi bencana itu.

“Pembiaran dalam administratif itu suatu kesalahan, pura-pura tidak tahu itu melakukan pembiaran. Jadi ini sangat mungkin diajukan ke Mahkamah Internasional maupun dalam negeri untuk meminta pertanggungjawaban mereka,” tambah Iqbal.

Iqbal mencontohkan, wilayah Batang Toru di Kabupaten Tapanuli Selatan, Sumatera Utara adalah wilayah bidang miring dan merupakan bagian dari Daerah Aliran Sungai (DAS). Di sana ada proyek pembangkit listrik tenaga air (PLTA) yang dikelola PT North Sumatera Hydro Energy (NSHE) dan tambang emas martabe milik PT Agincourt Resources.

“Di wilayah Batang Toru ada tambang emas, ada pembangkit listrik, jadi bukaan lahan ini tinggi, begitu hujan deras cuaca ekstrem terjadilah banjir bandang, maka tidak heran banyak gelondongan (kayu) meskipun dari Kementerian Kehutanan ada yang bilang kayu tumbang kayu lapuk, padahal itu kayu jelas sudah digergaji,” kata dia

Menurutnya, masyarakat terutama korban dalam bencana ini bisa melapor dan meminta ganti rugi terhadap para pengambil kebijakan ini.

“Apalagi yang di Batang Toru ini ada izin di mana kebijakan pemerintahnya kelihatan, dia korban langsung dan kebijakan itu menyebabkan krisis iklim sehingga mereka terdampak langsung, ini kuat banget legal standing mereka untuk meminta pertanggung jawaban pemerintah,” ungkap Iqbal.

Iqbal khawatir jika tidak ada yang melapor, tidak ada yang meminta pertanggung jawaban terhadap ketiga menteri, pemerintah akan menganggap enteng masalah deforestasi ini dan tidak akan merevisi kebijakan-kebijakan mereka yang merusak lingkungan.

“Kalau kita tidak marah dan menuntut pertanggungjawaban pada pemerintah, mereka akan seenaknya terus seperti itu dan rakyat yang menjadi korban,” kata dia.

Alih fungsi lahan

Analisis internal Greenpeace dengan merujuk data Kementerian Kehutanan menemukan, dalam kurun 1990-2024, banyak hutan alam di Provinsi Sumatera Utara beralih fungsi menjadi perkebunan, pertanian lahan kering, dan hutan tanaman. Situasi serupa terjadi di Aceh dan Sumatera Barat.

“Mayoritas DAS di Pulau Sumatera telah kritis dengan tutupan hutan alam kini kurang dari 25 persen. Sedangkan secara keseluruhan kini tinggal 10-14 juta hektare hutan alam atau kurang dari 30 persen luas Pulau Sumatera yang 47 juta hektare,” kata Peneliti senior Greenpeace Indonesia, Sapta Ananda Proklamasi.

Salah satu DAS yang rusak parah ialah DAS Batang Toru yang meliputi Kabupaten Tapanuli Utara, Tapanuli Selatan, dan Tapanuli Tengah. Salah satu bentang hutan tropis terakhir di Sumatera Utara ini juga dibebani berbagai macam perizinan untuk industri rakus lahan termasuk PLTA Batang Toru yang lantas membabat hutan, juga menggusur habitat orangutan Tapanuli.

Berikut hasil analisis Greenpeace tentang kawasan hutan di area DAS Batang Toru:

  • Selama periode 1990-2022, telah terjadi deforestasi seluas 70 ribu hektare atau 21 persen dari luas DAS. Kini luas hutan alam yang tersisa sebesar 167 ribu hektare atau 49 persen dari luas DAS.
  • Areal perizinan berbasis lahan dan ekstraktif secara keseluruhan seluas 94 ribu hektare atau 28 persen. Sebagian besar berupa perizinan berusaha pemanfaatan hutan, wilayah izin usaha pertambangan, dan perkebunan kelapa sawit.
  • Total potensi erosi saban tahun sebesar 31,6 juta ton. Sekitar 56 persen berasal dari areal rawan erosi >180 ton/hektar/tahun.
  • Bagian hulu sudah beralih fungsi menjadi pertanian kering, sedangkan hilirnya beralih fungsi menjadi perkebunan sawit dan industri bubur kertas. Hutan alamnya hanya berada di bagian tengah DAS.

Menurutnya kondisi ini tidak boleh dibiarkan saja, pemerintah Indonesia harus serius membenahi kebijakan tata kelola lahan dan hutan secara menyeluruh demi menyelamatkan ekosistem dan masyarakat dari tragedi bencana iklim. Dengan krisis iklim yang kian parah, hutan yang rusak dan daya dukung lingkungan yang sudah menurun drastis hanya akan membuat kita makin porak-poranda tatkala terjadi cuaca ekstrem.

Segera evaluasi perizinan

Pemerintah harus mengakui bahwa mereka telah salah dalam tata kelola hutan dan lahan. Akibatnya hutan Sumatera hampir habis, terjadi degradasi lingkungan parah, dan kini masyarakat Sumatera harus menanggung harga yang amat mahal dari bencana ekologis ini.

“Prabowo dan beberapa menterinya memang sudah menyinggung soal deforestasi, tapi mereka seolah mengesankan bahwa kerusakan hutan di Sumatera terjadi karena penebangan liar. Padahal selain penebangan liar, deforestasi masif terjadi karena dilegalkan pula oleh negara dari satu pemerintahan ke pemerintahan lainnya,” kata Arie Rompas.

Selain mengevaluasi izin-izin di Sumatera, pemerintah juga harus berhenti merusak hutan di wilayah lain, seperti Papua. Hentikan perusakan hutan yang terjadi di Raja Ampat dan pulau-pulau kecil lainnya yang dibebani tambang nikel, juga deforestasi di Merauke demi ambisi swasembada energi dan pangan yang salah kaprah.

“Pertumbuhan ekonomi sebesar 8 persen yang dicita-citakan Prabowo tak akan tercapai jika lingkungan rusak dan bencana iklim terus mengintai kita,” ungkap Arie.

Karena itu Greenpeace mendukung desakan sejumlah pihak agar pemerintah segera menetapkan peristiwa banjir di Pulau Sumatera ini sebagai status darurat bencana nasional, serta mengerahkan penanggulangan bencana dengan cepat dan tepat.

“Peristiwa banjir besar yang melanda Sumatera ini seharusnya menjadi pengingat terakhir bagi pemerintahan Presiden Prabowo Subianto untuk membenahi kebijakan pengelolaan hutan dan lingkungan hidup serta komitmen iklim secara total. Banjir besar tersebut menunjukkan dua hal: dampak krisis iklim yang tak bisa lagi dihindari dan perusakan lingkungan hidup yang sudah terjadi menahun,” kata dia.

Kapolri Jenderal Polisi Listyo Sigit Prabowo bersama Menteri Kehutanan Raja Juli Antoni sepakat membentuk Satgas Gabungan untuk menyelidiki temuan kayu dalam bencana ini.

“Kami menyambut baik dan akan melakukan kerja sama dengan Menteri Kehutanan dan tim untuk membentuk Satgas Gabungan guna melakukan penyelidikan terkait temuan-temuan kayu yang diduga berdampak terhadap kerusakan, jembatan rusak, rumah terdampak, hingga adanya korban jiwa,” kata Kapolri Jenderal Polisi Listyo Sigit Prabowo.

Polri dan Kementerian Kehutanan juga akan melakukan penyelidikan menyeluruh, mulai dari hulu hingga hilir. Kapolri menjelaskan bahwa personel Polri sudah berada di lapangan dan akan segera bergabung dengan tim kehutanan untuk menelusuri lokasi-lokasi yang diduga terjadi pelanggaran yang berdampak pada kerusakan infrastruktur hingga korban jiwa. la memastikan penyelidikan dilakukan komprehensif dan hasilnya akan disampaikan ke publik setelah Satgas Gabungan bekerja maksimal. [*]

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Terpopuler

ORDER MERCHANDISE

Bingung cara ajak anak diskusi soal bahaya online tanpa menghakimi? 

Dapatkan solusi anti-panik untuk mengatasi hoaks, cyberbullying, dan mengatur screen time dalam Panduan Smart Digital Parenting