digitalMamaID — Pertumbuhan industri gim di Indonesia semakin berkembang pesat setiap tahunnya. Hal ini mendorong persaingan yang ketat antara para pengembang industri gim untuk membuat gim-gim yang bisa merebut hati para gamers.
Sayangnya, beberapa pengembang mungkin kurang memperhatikan batasan usia anak-anak dalam pembuatan konten gim mereka. Gim yang seharusnya masuk dalam segmen dewasa yang umumnya mengandung kekerasan, pembantaian, kata-kata kasar, hingga unsur pornografi justru dengan mudah dapat diakses oleh anak-anak. Dampak negatifnya, anak-anak cenderung meniru apa yang mereka lihat hingga mereka praktikkan dalam kehidupan nyata.
Beberapa game yang mengandung kekerasan dan berpotensi diakses oleh anak-anak dikutip dari Eraspace antara lain, Grand Theft Auto (GTA), Call of Duty, Counter Strike, dan Mortal Kombat. Selain itu, Mobile Legends dan Roblox juga dapat menjadi perhatian karena meskipun tidak selalu menampilkan kekerasan ekstrim, kontennya bisa bervariasi dan beberapa mungkin mengandung elemen kekerasan.
Oleh karena itu, orangtua harus bisa memberikan pengertian kepada anak-anak untuk bermain gim yang aman dan menjelaskan tidak semua gim cocok dimainkan untuk usia mereka.
Tunda akses, bukan sensor
Menteri Komunikasi dan Digital (Komdigi) Meutya Hafid dalam acara forum Indonesian Woman In Game (IWIG) BeautyPlayConnect di Bandung beberapa waktu lalu mengatakan, Komdigi menerima banyak laporan mengenai konten-konten yang tidak sesuai dengan usia anak, termasuk game dengan tingkat kekerasan yang seharusnya hanya bisa diakses oleh pengguna berusia minimal 16 tahun dengan pendampingan orang tua, dan secara mandiri setelah usia 18 tahun.
“Kami tidak melarang gim, tetapi kami menunda akses konten kepada pengguna yang belum cukup usia. Ini bukan soal sensor, tapi soal tanggung jawab bersama dalam menciptakan ruang digital yang aman dan sehat,” kata Meutya dalam siaran pers yang diunggah di website Komdigi, pada Kamis, 9 Juli 2025.
Karena itu, ia menekankan pentingnya para pengembang industri gim untuk penerapan sistem rating konten melalui Indonesia Game Rating System (IGRS). Ini adalah upaya pemerintah untuk mengklasifikasikan gim berdasarkan usia pengguna dan jenis konten yang ada di dalamnya. IGRS juga bertujuan memberi acuan bagi orang tua, pemain, dan pelaku industri agar dapat mengenali konten yang sesuai usia dan tahapan perkembangan anak.
“IGRS bukan hanya alat bantu untuk orang tua, tapi juga pelindung bagi industri. Dengan menerapkan klasifikasi usia secara jujur, pengembang dan penerbit bisa menghindari risiko pelanggaran hukum,” jelas Meutya.
Ia menyatakan, tuntutan terhadap industri gim untuk bertanggung jawab juga tengah menjadi tren global. “Gerakan serupa berlangsung di banyak negara. Indonesia perlu bersiap dengan regulasi yang adil tapi tegas,” ujarnya.
Meutya menekankan pentingnya perlindungan anak dalam pertumbuhan industri gim nasional. Pemerintah akan ikut serta dalam mengawasi dan memastikan pertumbuhan industri gim yang sehat dan bertanggung jawab, khususnya dalam memberikan perlindungan kepada anak-anak.
Melalui Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2025 tentang Tata Kelola Penyelenggaraan Sistem Elektronik dalam Perlindungan Anak (PP TUNAS), pemerintah memberikan acuan kepada pelaku industri termasuk pengembang dan penerbit gim untuk mematuhi regulasi yang ada, termasuk menerapkan klasifikasi batasan usia secara ketat.
Indonesia tawarkan PP Tunas jadi standar global
Dalam pertemuan dengan Sekretaris Jenderal International Telecommunication Union (ITU) Doreen Bogdan-Martin di Jenewa, Swiss, pada Rabu, 9 Juli 2025 lalu, Meutya memperkenalkan PP TUNAS sebagai model regulasi yang bisa menjadi acuan global dalam melindungi anak-anak di ruang digital. Menurut Meutya, penerbitan PP TUNAS merupakan bentuk komitmen Indonesia dalam membentuk tata kelola ruang digital yang aman bagi generasi muda.
“PP TUNAS mencerminkan komitmen Indonesia melindungi anak secara daring, demi kesehatan dan kesejahteraan generasi muda,” ujar Meutya.
PP Tunas dirancang agar menciptakan tata kelola terutama bagi platform digital berperan secara aktif untuk menciptakan ruang digital yang aman saat diakses oleh generasi muda.
Meutya juga menyatakan dukungan terhadap ITU yang menempatkan kantor perwakilan di Jakarta. Hal ini menunjukkan bahwa Indonesia dipercaya sebagai pusat pelaksanaan program-program ITU di Asia Tenggara.
“Perwakilan ITU di Jakarta telah memfasilitasi pelaksanaan program-program yang berdampak luas di Asia Tenggara, seperti program perlindungan terhadap generasi muda di ruang digital,” katanya.
Meutya berharap kerjasama dukungan teknis dan program peningkatan kapasitas dari ITU terus berkelanjutan, khususnya dalam program-program yang menyasar wilayah 3T.
Meutya menekankan pentingnya kolaborasi Indonesia-ITU dalam isu strategis global seperti tata kelola kecerdasan artifisial (AI), perencanaan spektrum 5G dan 6G, serta strategi pengembangan talenta digital nasional.
“Panduan dari ITU akan sangat penting untuk memastikan kebijakan kami tetap inklusif, berpandangan ke depan, dan selaras dengan standar global,” ujarnya. [*]