1 dari 10 Pekerja Perempuan Indonesa Merupakan Female Breadwinners, Apa Itu?

Petani perempuan Indeonesia. Sektor pertanian jadi salah satu bidang yang paling banyak jadi lapangan pekerjaan bagi female breadwinners di Indonesia. Foto: Ti-ja/Getty Images Signatures
Share

digitalMamaID – Badan Pusat Statistik (BPS) baru saja mengeluarkan buklet Cerita Data Statistik Untuk Indonesia, 27 Maret 2025 lalu terkait isu kesetaraan gender yaitu female breadwinners, perempuan pencari nafkah utama dalam keluarga yang semakin banyak di Indonesia.

Berdasarkan catatan BPS tahun 2024 ada 14,37 persen atau setara satu dari sepuluh pekerja perempuan di Indonesia merupakan female breadwinners. Angka terbesar ada di kelompok usia 60 tahun ke atas dengan 17,9 persen disusul oleh kelompok usia produktif 30 sampai 59 tahun dengan presentasi merata di atas 10 persen.

Hal menarik, female breadwinners justru paling banyak secara administratif posisinya adalah sebagai istri yaitu 40,77 persen, lalu disusul yang memang sebagai kepala keluarga 39,82 persen. Sisanya ada anak, menantu, cucu, orang tua atau kerabat lainnya.

Female breadwinners tertinggi ada di Provinsi DKI Jakarta dan terendah di Provinsi Papua Pegunungan. Sebanyak 47,53 persen bekerja dengan membuka usaha perorangan, lalu sisanya sebagai karyawan dan freelancer. Sektor pekerjaannya sendiri berbagai macam, paling banyak di perdagangan, kemudian sektor pertanian dan industri pengolahan, akomodasi, pendidikan dan lainnya.

Lalu, apa itu female breadwinners?

Menurut BPS, female breadwinners adalah perempuan yang menjadi pencari nafkah utama dalam rumah tangga, baik sebagai satu-satunya penyedia ekonomi atau sebagai kontributor terbesar dalam pendapatan keluarga.

Di negara maju Amerika Serikat, female breadwinners telah menjadi bagian dari norma sosial, dengan hampir 42 persen perempuan berperan sebagai tulang punggung ekonomi keluarga. “Tren ini dipengaruhi oleh meningkatnya tingkat pendidikan perempuan, perubahan struktur keluarga, serta kebutuhan ekonomi yang semakin besar,” ungkap BPS dalam laporannya.

Sementara itu, di Australia, keberadaan female breadwinners lebih bersifat dinamis dan sering kali hanya terjadi sementara, misalnya akibat pasangan belum mendapat pekerjaan atau kondisi ekonomi tertentu.

Di Jerman, meskipun jumlah female breadwinners semakin meningkat, norma sosial yang masih kuat menempatkan perempuan dalam peran domestik, sehingga mereka menghadapi ekspektasi gender tradisional yang mengharuskan mereka untuk tetap menjadi pengasuh utama dalam rumah tangga.

Indonesia sendiri dibanding negara di atas, perempuan sebagai tulang punggung ekonomi keluarga masih relatif sedikit. Hal ini karena norma sosial dan budaya yang masih membatasi peran perempuan dalam dunia kerja serta kebijakan yang belum sepenuhnya mendukung kesetaraan gender.

Namun, meskipun relatif sedikit, female breadwinners di Indonesia memegang peran krusial dalam perekonomian keluarga. Bahkan dalam laporan BPS, 47,65 persen menyumbang 90-100 persen dari total pendapatan keluarga dan menjadikan mereka satu-satunya sumber nafkah. Tingginya ketergantungan rumah tangga pada pendapatan perempuan ini mencerminkan perubahan peran ekonomi.

“Tidak hanya bekerja untuk memenuhi kebutuhan pribadi, mereka juga menanggung biaya hidup anggota keluarga lainnya, baik sebagai pencari nafkah utama maupun satu-satunya. Peran mereka sebagai tulang punggung keluarga menunjukkan perubahan dalam dinamika ekonomi rumah tangga serta tantangan yang dihadapi perempuan dalam dunia kerja dan kehidupan keluarga,” jelas BPS dalam laporan.

Beban ganda female breadwinners

Kendati fenomena female breadwinners di Indonesia mulai terlihat, perempuan jadi punya banyak ruang untuk ikut berkontribusi dan berdaya secara finansial. Ironisnya, perempuan juga yang masih mendapatkan diskriminasi, stereotip gender, kurangnya akses terhadap teknologi, kesenjangan upah serta beban ganda sebagai pencari nafkah sekaligus ibu rumah tangga yang dituntut tetap menjalankan peran domestiknya.

Institute of Development Studies (IDS) dalam laporannya tahun 2016 menyebutkan, secara global, perempuan melakukan sekitar 75 persen dari total pekerjaan perawatan dan pekerjaan rumah tangga (unpaid care and domestic work). Hal tersebut berimplikasi kurang baik pada berbagai aspek kehidupannya. Perempuan rentan mengalami kelelahan fisik, emosional serta mental akibat tanggung jawab ganda (multiple burdens). Perempuan harus menghadapi tuntutan pekerjaan, tanggung jawab mengelola tugas domestik, pengasuhan serta ekspektasi masyarakat seputar gender.

Untuk itu kebijakan untuk mendorong pembagian kerja yang setara dalam rumah tangga perlu digalakkan, karena hal ini berpengaruh pada kesehatan fisik dan mental female breadwinners. “Sebagai contoh, kebijakan terkait regulasi di pasar tenaga kerja agar laki-laki dapat secara sah mengambil waktu istirahat (cuti) untuk berpartisipasi lebih aktif dalam pekerjaan rumah tangga juga menjadi penting,” ungkap BPS.

Selain sebagai upaya preventif agar female breadwinners tidak mengalami stres kronis akibat menyeimbangkan keluarga dan pekerjaan, kebijakan ini diharapkan dapat memperbesar peluang female breadwinners untuk bekerja dalam pekerjaan yang layak atau pekerjaan full-time yang memberikan perlindungan kepastian hukum, jaminan sosial, dan kondisi kerja yang layak.

Perlunya kebijakan

Dilansir dari Tirto.id, Peneliti Bidang Sosial The Indonesian Institute, Made Natasya Restu Dewi Pratiwi membenarkan bahwa female breadwinners di indonesia masih sering mengalami beban ganda karena beban kerja domestik yang masih dibebankan secara tidak proporsional pada perempuan.

Menurutnya, seharusnya jika perempuan bekerja sudah semakin bisa dianggap lumrah di negeri ini, sudah semestinya kerja domestik tidak diyakini sebagai pekerjaan perempuan saja. “Kehidupan rumah tangga pada akhirnya bukan tentang gender itu sendiri, tapi bagaimana caranya bisa melakukan pembagian secara adil dan meyakini bahwa pekerjaan rumah tangga adalah skill mendasar seseorang,” ungkapnya.

Natasya juga mengatakan, peningkatan angka female breadwinners di Indonesia harus diiringi dengan komitmen pemerintah untuk membuat kebijakan publik yang responsif gender dan berbasis data.

“Hal ini sangat esensial untuk mewujudkan ekosistem yang dapat melindungi dan memberdayakan female breadwinners di Indonesia, sehingga mereka akan semakin berdaya dan mendapatkan akses kesempatan yang merata, jaminan akan kebebasan individu dan kebebasan ekonomi, serta mendapatkan haknya untuk mendapatkan pekerjaan yang layak dan peluang yang setara dalam aktivitas ekonomi,” ujar Natasya.

Lebih lanjut, aspek pemberdayaan perempuan sebagai tulang punggung ini juga tidak bisa dilakukan setengah hati, alias perlu dilakukan menyeluruh, dari mulai aspek sosial, ekonomi, hingga kesehatan, dengan melibatkan peran multi sektor agar solusi yang ditawarkan dapat menyeluruh dan berkelanjutan. Itu lantaran secara sosial, female breadwinners sering menghadapi tantangan untuk mengakses pekerjaan layak secara adil karena norma sosial yang masih bias gender.

Jadi, ke depannya, Indonesia perlu bersinergi dan berkolaborasi lintas pihak untuk memberikan investasi yang serius dalam menunjang terciptanya pasar kerja terbuka yang inklusif agar female breadwinners memiliki peluang setara untuk berkarya, sejahtera, serta dapat mengakses kebutuhan dasar yang berkualitas, dan tidak terjebak dalam kemiskinan. [*]

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Terpopuler

ORDER MERCHANDISE

Bingung cari konten yang aman untuk anak?
 
Dapatkan rekomendasi menarik dan berikan pendapatmu di Screen Score!
Ilustrasi melatih anak bicara/Bukbis Ismet Candra Bey/digitalMamaID