Di banyak dapur, melambungnya harga beras adalah sumber kecemasan yang terus mengintai, tapi tidak di Cireundeu. Sudah seabad lebih, kampung adat ini menolak nasi. Perempuan-perempuan Cireundeu menjaga tradisi rasi, makanan pokok dari singkong yang diolah dengan sabar dan penuh cinta. Rasi bukan sekadar pengganti beras, tapi lambang ketahanan sekaligus perlawanan. Ketika kota-kota panik oleh naiknya harga pangan, dapur-dapur Cireundeu tetap tenang. Jika ada cara makan yang lebih mandiri, mengapa harus selalu bergantung pada pasar yang jauh kendali?
digitalMamaID — Asap mengepul dari dapur sederhana di rumah Mak Kartipah (70) siang itu. Dapur tradisional berukuran 3×4 meter ini menjadi ruang utama tempat ia setiap hari memasak rasi (makanan pokok masyarakat Kampung Adat Cireundeu) untuk keluarganya.
Di atas tungku kayu, rasi sedang dikukus menggunakan aseupan, alat kukus sederhana dari anyaman bambu. Sesekali, Mak Kartipah meniup tungku dengan selongsong bambu panjang untuk memastikan api tetap menyala. “Cekap 15 menit, tos asak (Cukup 15 menit, sudah matang),” tuturnya saat digitalMamaID menyambangi dapurnya, Kamis, 16 Juli 2025.

Untuk kebutuhan makan sehari, biasanya ia cukup mengolah setengah kilo rasi bagi seluruh anggota keluarga. Lauknya menyesuaikan dengan apa yang tersedia di dapur, kadang tumis, sayur daun singkong, kadang tempe goreng, atau sambal sederhana.
Sejak kecil, Mak Kartipah hanya mengenal rasi sebagai makanan pokok. Ia bahkan mengaku tidak pernah merasakan nasi sepanjang hidupnya. “Henteu kenging tuang sangu, pamali, (Tidak boleh makan nasi, pamali),” tuturnya. Maksudnya, makan nasi dianggap sebagai pantangan dalam tradisi Kampung Adat Cireundeu.
Pengetahuan tentang berkebun, mengolah singkong menjadi rasi, dan cara memasaknya ia pelajari dari orang tuanya sejak kecil. Kini, ilmu itu ia wariskan kepada anak, menantu, dan cucunya. Begitulah caranya terus menghidupkan tradisi di tengah arus modernitas.
Cara itu juga dilakoni Neneng (44). Ibu dua anak ini sudah mulai mengenalkan rasi kepada anak-anaknya sejak usia enam bulan. Bahkan anak keduanya, yang bersekolah di Bandung dan indekos membawa bekal rasi mentah untuk persediaan makan sehari-hari. “Jadi dia masak sendiri di sana,” cerita Neneng.
Neneng sudah memberi pemahaman kepada anak-anaknya sejak mereka masih kecil bahwa keluarga mereka tidak mengonsumsi beras. Ia masih ingat, suatu kali anaknya bertanya, mengapa teman-temannya makan nasi sedangkan ia tidak. Dengan tenang, Neneng menjawab, “Karena kita memang tidak punya beras, kita tidak punya sawah,” jelasnya.
Seiring waktu, anak-anak Neneng pun mulai memahami pola makan keluarga mereka. “Anak teh udah ngerti aja. Jadi, kalau makanan yang berbau beras itu mereka tanya dulu. Ini dari apa, beras bukan? Kalau dari beras, mereka nggak mau,” tuturnya.

Apa yang diajarkannya kepada anak-anaknya tak lepas dari pengalaman masa kecilnya sendiri. Sepulang sekolah, ia kerap ikut ibunya ke kebun singkong, membantu menanam, memanen, hingga mengolah singkong menjadi rasi. Dari sanalah tumbuh keterampilan dan kesadaran pangan yang kini ia teruskan.
Pengetahuan tentang rasi yang diwariskan dari ibunya, kini tak hanya dijalankan dalam praktik sehari-hari, tetapi juga menjadi sumber ekonomi. Bersama 13 perempuan lainnya, Neneng mengolah rasi menjadi berbagai camilan seperti egg roll, keripik, dendeng, combro, cireng, hingga awug, yang dipasarkan sebagai produk lokal. Lewat tangan-tangan perempuan inilah, rasi tak sekadar menjadi pangan pokok, melainkan juga jalan kemandirian ekonomi bagi warga Kampung Adat Cireundeu.
Perempuan di Kampung Adat Cireundeu jadi garda terdepan mempertahankan budaya. Dalam senyap, mereka memastikan rasi tetap dimasak, diwariskan, dikenalkan sejak dini, bahkan dipasarkan ke luar kampung. Di tangan mereka, ketahanan pangan lokal jadi praktik hidup nyata.
Rasi, simbol perlawanan
Ada akar sejarah yang dalam di balik konsistensi masyarakat Kampung Adat Cirendeu mengonsumsi rasi. Penolakan terhadap beras dimulai pada tahun 1918, sebagai bentuk perlawanan terhadap kolonialisme. “Istilahnya nunda kersa nyai, atau tidak makan pemberian Dewi Sri. Itu atas perintah sesepuh adat, sebagai bentuk protes terhadap penjajah,” jelas Jajat, salah satu perangkat adat Cireundeu.
Pada masa itu, beras menjadi komoditas yang dirampas penjajah setiap panen. Mereka menanam padi, tapi beras malah jadi komoditas langka. Masyarakat mulai mencari alternatif pangan seperti ubi, jagung, dan berbagai bahan pangan lokal lain. Sampai akhirnya, pada 1924, seorang sesepuh perempuan bernama Omah Asnamah menemukan cara mengolah singkong menjadi rasi. Iamengamanatkan agar rasi dijadikan makanan pokok warga. Bukan hanya untuk bertahan, tapi sebagai bentuk merdeka dari penjajahan pangan. Sejak itu, penanaman singkong dilakukan secara kolektif di leuweung baladahan (hutan pertanian) milik warga.

Selain sejarah perlawanan, keyakinan warga Cireundeu juga bertumpu pada ramalan leluhur.“Katanya, alam tempat cicing urang teh bakal heurin ku tangtungan (alam tempat kita akanpenuh dengan tangtungan),” kata Jajat. Tangtungan berarti sesuatu yang berdiri tegak, bangunan dan manusia. Semacam simbol masa depan yang padat. Dalam konteks ini, singkong dianggap sebagai solusi karena tidak butuh lahan luas, mudah tumbuh dan tahan iklim.
Ketua Adat Cireundeu Abah Widi menyebut, rasi adalah simbol kemerdekaan lahir dan batin. “Kami tidak berpikir beli beras karena punya makanan pokok lokal. Cukup ketenangan batin, karena butuhnya hanya alat cangkul,” ungkapnya.
Prinsip hidup warga Cireundeu tertulis jelas di balai adat mereka, ‘Teu boga sawah asal boga pare, teu boga pare asal boga beas, teu boga beas asal bisa nyangu, teu nyangu asal dahar, teu dahar asal kuat’ (Tidak punya sawah asalkan punya padi, tidak punya padi asalkan punya beras, tidak punya beras asalkan bisa masak nasi, tidak bisa masak nasi asalkan bisa makan, tidak bisa makan asalkan kuat).

Falsafah ini menjadi panduan hidup sederhana namun penuh makna untuk tidak menggantungkan diri pada satu komoditas, tidak bergantung pada pasar, dan selalu mencari jalan untuk tetap hidup secara bermartabat.
Dalam situasi krisis pangan dan fluktuasi harga beras nasional, warga Cireundeu tetap tenang.Mereka tidak terpengaruh. “Selama negara ini impor terus, masyarakat tidak akan berubah.Karena dimanjakan oleh pemerintah,” tegas Abah Widi.
Ia pun membuka pintu bagi siapa pun yang ingin belajar dari Cireundeu. “Di sini ada ilmunya untuk mengelola singkong. Tinggal masyarakat lain mau mengubah pola hidupnya atau tidak. Itu aja yang sederhana,” katanya.
Dampak kebijakan pemerintah
Jawa Barat dikenal sebagai lumbung padi nasional karena memiliki lanskap yang cocok untuk budidaya padi. Namun, provinsi ini juga menjadi konsumen beras terbesar.Ketergantungan masyarakatnya terhadap beras sangat tinggi, hal ini membentuk sistem pangan yang rentan krisis.
Secara tradisi, masyarakat Jawa Barat mengamini ‘kalau belum makan nasi, berarti belum makan’. Ungkapan ini tanpa sadar telah membentuk pola konsumsi banyak generasi. Nasi dianggap sebagai pangan pokok tunggal, nyaris tak tergantikan.
Fita (34), seorang ibu pekerja di Bandung mengaku sepanjang hidupnya tak pernah diajari mengenal makanan pokok selain nasi. Sumber karbohidrat lain diperkenalkan padanya sebagai makanan pendamping saja. “Kalau pagi makan roti, ya itu mah nyemil,” ujarnya pada Rabu, 23 Juli 2025.
Praktis nasi jadi satu-satunya referensi pangan pokok. Tradisi beras itu kemudian berlanjut di keluarga kecilnya. Setiap bulan ia menghabiskan 10 kilogram beras untuk empat anggota keluarga.
Di tengah tradisi beras yang mengakar kuat, mengganti pangan pokok bukan perkara gampang. Tidak saja soal pembiasaan, tapi ketiadaan dukungan sistem rantai pasok. Beras selalu jadi yang utama, dijaga sejak saat produksi, distribusi dan konsumsi. Masyarakat dibuat terbiasa, sampai merasa tak bisa kalau tidak ada beras.
Mira (33), ibu yang tinggal di Bandung ini sebelumnya juga pecinta nasi sampai ia menjalani program kehamilan. Ada kebutuhan untuk memperbaiki pola makan demi program yangdijalaninya. Salah satunya dilakukan dengan mengonsumsi karbohidrat selain nasi. Di usia dewasa, ia mulai berkenalan dengan kentang dan jagung. Pelan-pelan ia belajar mengurangi nasi. “Awalnya memang susah. Kayak lapar terus, tapi lama-lama jadi biasa,” kenangnya.
Pembiasaan itu membuatnya punya kesadaran baru, makan tak lagi selalu harus dengan nasi.Kini ia punya sumber karbohidrat yang beragam. Kelak, ia pun ingin mengajarkan keberagaman ini kepada anaknya.
Pengalaman Fita dan Mira sejatinya adalah dampak dari kebijakan pemerintah puluhan bahkan ratusan tahun silam. Sejak kolonial hingga Orde Baru, beras jadi simbol kemajuan dan kedaulatan negara. Program intensifikasi pertanian berfokus pada padi, dan berbagai jenis pangan lokal perlahan tersisih.
Padahal, jauh sebelum itu, masyarakat Indonesia hidup dengan keragaman sumber karbohidrat lokal. Kini, generasi terdampak itu harus bergulat dengan krisis pangan dan perubahan iklim yang mengancam ketahanan pangan nasional.
Rasa jadi selera
Berdasarkan data hasil Survei Sosial Ekonomi nasional (Susenas) yang dilakukan BPS, konsumsi beras per kapita cenderung menurun yakni dari 107,71 kg/kapita/tahun pada tahun 2002 menjadi 93,79 kg per kapita per tahun pada tahun 2023. Penurunan ini disinyalir terjadi karena meningkatnya kesadaran tentang diversifikasi pangan, pengembangan bahan pangan pokok lokal atau meningkatnya konsumsi pangan turunan dari terigu (seperti mie dan roti).
Produksi beras dalam negeri dari tahun ke tahun terus meningkat, walaupun laju pertumbuhannya cenderung melandai. Di sisi lain, laju pertumbuhan penduduk Indonesia sebesar 1,25% per tahun berdasarkan hasil Sensus Penduduk 2020. Fakta ini membuat total konsumsi domestik beras Indonesia akan terus meningkat, walaupun konsumsi per kapitanya menunjukkan penurunan.
Di Jawa Barat sendiri konsumsi beras dalam rumah tangga rata-rata 95,17 kg per kapita per tahun selama 2021 sampai 2023. Angka ini lebih tinggi dibandingkan rata-rata nasional 94 kg per kapita per tahun dan rata-rata konsumsi global yang hanya 54 kg per kapita per tahun.
Kondisi ini menunjukkan, masyarakat Jawa Barat masih sangat bergantung pada beras sebagai makanan pokok utamanya. Dosen Program Studi Teknologi Pangan Fakultas Teknologi Industri Pertanian Universitas Padjadjaran (Unpad) Dr. Herlina Marta, STP., M.Si. menjelaskan, mengonsumsi beras (nasi) sudah menjadi budaya masyarakat bukan hanya di Jawa Barat namun di Indonesia sejak lama.
“Secara rasa, beras mempunyai rasa yang netral dibandingkan dengan sumber karbohidrat lainnya seperti ubi atau jagung, sehingga cocok dengan lauk pauk khas Indonesia,” ungkap Herlina, Jumat, 25 Juli 2025.
Lain halnya, dengan Repa Kustipia, Gastronomist dan Research Director di Center for Study Indonesia Food Anthropology (CS-IFA), menurutnya kesulitan masyarakat Jawa Barat untuk lepas dari beras (nasi) bukanlah sekedar persoalan rasa dan kebutuhan biologis saja. Lebih dari itu, menurutnya ini sudah seperti pondasi proses sejarah yang panjang, yang tidak bisa diubahdengan cepat.
“Jadi harus pelan-pelan, baik secara strategi ekonomi atau strategi budaya. Karena proses sejarahnya panjang banget kalau di Jawa Barat,” jelas Repa, Jumat, 18 Juli 2025.
Menurut Repa, secara tradisi, memang masyarakat Jawa Barat itu ‘kalau belum makan nasi, berarti belum makan’. Walaupun pagi harinya sudah makan roti, lepet atau surabi yang sama-sama terbuat dari beras, akan tetapi, nasi tetap menjadi pilihan utama.
“Level rasa kenyangnya itu belum bisa terdefinisikan pengganti nasi. Pengganti nasi itu belum masuk ke level kenyang. Nah, itu yang harus dipahami secara budaya dan makna sosial ya,” ungkapnya.
Selain rasa kenyang, menurut Repa juga karena ada pengalaman tubuh dan embodied food culture seperti habit untuk makan nasi tiga kali dalam sehari, yang telah menjadi mindset. “Penerimaan-penerimaan dari habit itu dibentuk dari persepsi leluhur kemudian diwariskan. Itu nggak bisa diubah begitu saja kecuali, generasi-generasi saat ini mau bertransisi atau pola makan tersebut,” katanya.
Gastropolitik: Ketergantungan sistemik
Secara gastropolitik, perubahan pola konsumsi makan masyarakat Indonesia sebetulnya sudah berlangsung sejak masa datangnya pedagang Islam bersamaan dengan kolonial Belanda.
Kolonial Belanda yang saat itu melihat komoditas yang paling naik dan paling dibutuhkan adalah beras, mulai mengeksploitasi pertanian. Masyarakat pribumi dipaksa bekerja, sementara hasilnya dinikmati kolonial.
Beras secara kondisi pada saat itu terinstitusionalisasi, artinya makanan pokok rakyat sekaligus sebagai alat kontrol kolonial. Masyarakat mau tidak mau bergantung kepada beras. “Tujuan mereka untuk ekspor (beras). Sedangkan orang Indonesia, kan berarti kalau sudah dibuat ketergantungan, mereka akan terus lapar di komoditas itu,” ungkap Repa.
Melalui kebijakan seperti tanam paksa (cultuurstelsel) dan proyek-proyek irigasi, kolonial Belanda menciptakan sistem pertanian yang terpusat dan terstruktur, yang secara perlahan mengikis keragaman pangan lokal.
“Padahal zaman dulu, orang Indonesia sebetulnya tidak makan beras tapi makan jagung, sagu, gadung, jewawut, keladi, suweg, ganyong, iles-iles, singkong dan sebagainya karena wanatani (agroforestry) atau tumpang sari pangan yang komoditasnya beragam dari hutan,” ungkapnya.
Pasca merdeka, setelahnya, Indonesia ditransformasikan untuk swasembada beras. Beras dijadikan identitas makanan nasional (food nation). Seluruh rantai pangan nasional dari produksi, distribusi, konsumsi, hingga bantuan-bantuan sosial sampai hari ini dibangun hanya untuk satu komoditas, beras. Hal ini pun memperparah ketergantungan sistemik.
Bisakah meniru Cirendeu?
Kemandirian pangan masyarakat Kampung Adat Cireundeu tampak menjadi model ideal di tengah ketergantungan nasional pada beras. Bisakah masyarakat luas meniru praktik tersebut?

Menurut Herlina, singkong sebenarnya potensial dikembangkan, mengingat dapat tumbuh dimana saja bahkan lahan yang sempit. Akan tetapi, ia berpendapat, singkong lebih tepat digunakan sebagai variasi pangan, bukan menggantikan beras sepenuhnya.
“Sebagai kombinasi pangan lokal. Sehingga saat beras sedang mahal masyarakat bisa beralih dengan mengkonsumsi yang lain. Selain itu agar masyarakat bisa mendapatkan manfaat dari kombinasi bahan pangan pokok nusantara,” jelasnya.
Namun, singkong mengandung glikosida sianogen atau kandungan sianida alami yang rentan terkonsumsi jika proses pengolahannya kurang benar. Di sisi lain, indeks glikemik singkong lebih rendah daripada beras. “Cocok untuk penderita diabetes atau yang sedang diet,” ungkap Herlina.
Walaupun baik untuk penderita diabetes, kandungan protein dalam singkong justru lebih rendah daripada beras. Kandungan protein singkong hanya 1,5 gr per 100 gram, sedangkan nasi memiliki kandungan protein sebanyak 2,5 gr per 100 gram. “Cara mengimbanginya adalah dengan lauk yang bervariasi, misalnya protein lebih banyak,” katanya.
Repa mengatakan, upaya mengganti beras dengan singkong ini bisa ditelisik lewat antropologi pangan dengan pendekatan biokultural. “Jadi secara biologis dan teknis memang bisa. Tanaman singkong kan tumbuh subur, seperti di Tasikmalaya, di Garut, di Sukabumi, di Ciamis, di Cianjur, apalagi Sukabumi, Kuningan, di Bogor juga bagus,” kata Repa.
Singkong juga termasuk komoditas tahan iklim, tidak butuh irigasi yang rumit dan cocok di lahan kering. Jika ditilik ke belakang, sebelum ada nasi (beras) masyarakat Jawa Barat sendiri secara kultural sudah terbiasa makan tiwul, gaplek. Sehingga, secara memori kolektif, masyarakat Jawa Barat bisa kembali ke singkong. Ditambah secara alam dan sejarah memang sudah terbiasa dan bisa hidup karena pernah dikonsumsi secara komunal.
Namun, ketika melihat dari kacamata gastropolitik hal ini akan menyinggung masalah sosial, ekonomi bahkan politik. Pertama, adanya konversi lahan yang masif. Artinya, ruang untuk menanam singkong dalam skala komunitas itu makin menyempit. Kedua, fenomena krisis petani muda atau tidak adanya regenerasi petani.
Anak muda di desa sekarang sudah ‘ngonten’, tidak mau bertani. Sebagian juga bermigrasi ke kota kemudian bekerja apapun, di industri ataupun di dunia kreatif dan digital. “Karena krisis petani muda ini, ya singkong kan jadi nggak keren lagi. Susah keren-nya, nggak menguntungkan dan butuh tenaga yang besar. Siapa yang bakalan siap menanam, mengolah singkong karena kancukup lama panennya dari singkong ini. Sedangkan permintaan tiap hari untuk kebutuhan makan,” jelasnya.
Ketiga, Repa melihat dari kacamata politik lokal, pemerintah kabupaten atau kota belum menjadikan diversifikasi pangan itu sebagai agenda strategis. Kampanye dan promosi gizi dan pangan lokal dinilai masih lemah.
“Kemudian saya juga melihat kemauan politik daerah. Kepala daerah itu harus dijadikan simbol dan harus dijadikan model untuk lebih berpihak pada diversifikasi pangan secara prioritas aja dulu. Bukan hanya seremoni hari pangan lokal, tari-tarian saja ditampilkan,” katanya.
Jelas sudah upaya menggeser beras masih sulit dilakukan. Ketergantungan panjang akibat kolonialisme, proyek swasembada nasional, konstruksi budaya, hingga miskinnya kebijakan pangan lokal tak mudah dipulihkan.
Angkat topi untuk perempuan Cirendeu yang terus menjaga nyala tradisi rasi. (Penny Yuniasri/Alin Imani) [*]
Artikel ini merupakan bagian dari serial liputan kolaborasi #PerempuanRawatBumi bersama media anggota Women News Network (WNN), didukung oleh International Media Support (IMS).
Informasi soal WNN bisa diakses di https://womennewsnetwork.id/