#PerempuanRawatBumi: Belajar dari Cireundeu, Pengalaman Tujuh Hari Mengganti Nasi dengan Rasi

Rasi yang sudah dikukus. Makanan pokok masyarakat Kampung Adat Cirendeu ini terbuat dari singkong. (DJULI PAMUNGKAS/digitalMamaID)
Share

Nasi sudah jadi bagian dari hidup kita sejak kecil. Rasanya sulit membayangkan makan tanpa nasi. Tapi tidak dengan masyarakat Kampung Adat Cireundeu. Sudah seabad mereka mengganti nasi dengan rasi, beras singkong yang sudah diwariskan turun-temurun. Dari sinilah tantangan ini dimulai. Saya mencoba hidup tujuh hari tanpa nasi, hanya dengan rasi.

digitalMamaID — Ada kalanya ide terbaik lahir dari diskusi santai. Begitu juga dengan eksperimen ini. Pada 4 Juni lalu, saat tim digitalMamaID mendiskusikan liputan tentang rasi, muncul usulan, “Kenapa nggak sekalian coba makan rasi selama seminggu penuh?” Tanpa banyak pikir, saya langsung mengiyakan. Rasanya menantang, keluar dari zona nyaman, sekaligus peluang mencoba sesuatu yang benar-benar baru.

Rasi sendiri adalah pengganti nasi yang telah dikonsumsi warga Cireundeu selama lebih dari seratus tahun. Menurut salah satu perangkat adat, sebutan ‘rasi’ justru muncul belakangan, setelah pemerintah provinsi menjadikan Cireundeu contoh ketahanan pangan nasional. Warga setempat menyebutnya ‘sangueun’ atau nasi, hanya saja, nasi versi mereka terbuat dari ampas singkong, bukan padi.

Sebelum memulai eksperimen, saya dan Alin, rekan liputan, lebih dulu berkunjung ke Cireundeu. Sayangnya, kami datang bertepatan dengan upacara adat bulan Suro sehingga proses pengolahan singkong menjadi rasi tidak bisa ditunjukkan. Tapi keberuntungan kecil datang saat kami bertemu Mak Kartipah di kebun. Beliau mengajak kami masuk ke dapurnya, memperlihatkan cara memasak rasi.

Ternyata, prosesnya jauh lebih sederhana dibanding memasak nasi. Butiran rasi dimasukkan ke wadah, diberi air secukupnya, lalu diaduk dengan tangan hingga merata. Setelah itu, dimasukkan ke aseupan, alat pengukus kerucut dari anyaman bambu. Lalu dikukus 15 menit, rasi pun siap disajikan.

Saat pertama kali mencicipi rasi di rumah Mak Kartipah, saya cukup terkejut. Teksturnya kering, agak seret di tenggorokan. Rasanya juga asing di lidah. Sejujurnya, saya sempat ragu, sanggupkah saya benar-benar mengganti nasi dengan rasi selama seminggu?

Hari ke hari: Adaptasi dan rasa

Ternyata bisa.

Hari pertama, saya memasak satu setengah gelas belimbing rasi untuk tiga kali makan. Awalnya, hasilnya agak keras. Bahkan, ada bagian yang masih berwarna putih seperti belum matang sepenuhnya. Kemungkinan karena airnya terlalu sedikit. Untungnya, saya menyiapkan menu berkuah. Ada soto, tumis buncis, mendoan, dan tentu saja sambal. Seperti orang Sunda pada umumnya, sambal jadi pendamping wajib.

Capsaicin dalam cabai, selain bikin pedas, ternyata bisa memicu pelepasan dopamin dan endorfin. Menurut penelitian di Appetite (2020), efek ini membuat mood meningkat meski mulut seperti terbakar. Jadi wajar kalau hari pertama saya masih bisa berjalan lancar.

Berbagai menu dengan makanan pokok rasi. (PENNY YUNIASRI/digitalMamaID)
Berbagai menu dengan makanan pokok rasi. (PENNY YUNIASRI/digitalMamaID)

Hari kedua, saya masih mengandalkan menu berkuah. Kali ini sayur lompong. Hari ketiga, saya mulai bereksperimen membuat rasi goreng dengan telur mata sapi. Di luar ekspektasi, rasanya enak sekali! Tidak heran jika di bazaar Kampung Adat Cireundeu yang diadakan setiap Minggu, rasi goreng selalu jadi menu best seller. Teksturnya berbeda dari nasi goreng biasa, lebih mirip nasi goreng yang diberi taburan kremesan.

Hari-hari berikutnya, saya makin berani memadupadankan lauk, seperti ayam crispy sambal matah, sate ayam, ikan goreng, ayam goreng, lalapan, oseng-oseng, karedok, dan berbagai menu lain. Lidah saya perlahan terbiasa. Lama-lama, saya merasa tidak ada bedanya lagi antara makan nasi atau rasi, asalkan ada lauk pendamping.

Menurut Repa Kustipia, Gastronomist sekaligus Research Director di Center for Study Indonesian Food Anthropology (CS-IFA), hal ini berkaitan dengan memori kolektif. Sebelum beras jadi makanan utama, orang Jawa sudah terbiasa makan singkong, tiwul, gaplek, dan pangan non-beras lainnya. Jadi, secara historis dan biologis, tubuh kita tidak asing dengan makanan seperti rasi.

Repa juga menjelaskan bahwa jauh sebelum beras dikenal luas di Jawa Barat, masyarakat lokal sebenarnya mengonsumsi ubi, talas, suweg, porang, ganyong, hingga pisang. Hal ini sangat dipengaruhi kondisi geografis Jawa Barat yang didominasi dataran tinggi dan hutan tropis dengan sistem wanatani (agroforestri). “Pangan itu sifatnya tumpang sari atau campuran. Sangat beragam bahkan sebelum padi dikenal luas,” ungkapnya.

Mengubah kebiasaan

Selama tujuh hari, saya hanya menghabiskan 1 kg rasi. Jauh lebih hemat dibandingkan dengan beras. Berdasarkan data Susenas-BPS (2022–2023), rata-rata konsumsi beras per orang di Indonesia mencapai ±81 kg per tahun, atau sekitar 1,56–1,8 kg per minggu. Meski porsinya lebih sedikit, saya tetap merasa kenyang. Bahkan, jam makan saya ikut bergeser.

Berbagai menu dengan makanan pokok rasi. (PENNY YUNIASRI/digitalMamaID)
Berbagai menu dengan makanan pokok rasi. (PENNY YUNIASRI/digitalMamaID)

Rasa kenyang yang lebih lama ini rupanya bukan sugesti. Berdasarkan jurnal ilmiah di Science Direct berjudul Health Benefits of Resistant Starch: A Review of the Literature, singkong (cassava) mengandung resistant starch (RS), jenis karbohidrat yang sulit dicerna sehingga membantu mengontrol lonjakan gula darah dan memperpanjang rasa kenyang. Menurut Repa, yang pernah melakukan food weighing factual (menimbang makanan secara spontan di lokasi), rasi juga memiliki indeks glikemik rendah serta kandungan gizi yang lebih beragam dibanding nasi putih. Jika nasi putih hanya mengandung vitamin B1 dan B3, rasi mengandung vitamin C, B1, B6, B kompleks, serta mineral seperti zat besi, fosfor, dan kalsium. Seratnya pun lebih tinggi, baik untuk pencernaan.

Dari eksperimen ini, saya belajar bahwa tantangan terbesar bukan pada rasa rasi, melainkan pada mengubah kebiasaan dan mindset yang telah tertanam sejak kecil, bahwa makan berarti makan nasi. Rasi membuktikan, rasa kenyang dan kepuasan makan tidak hanya datang dari beras. Lidah saya, yang awalnya menolak, perlahan beradaptasi bahkan ada momen ketika saya makan sambil berpikir, “Oh, ternyata bisa ya, hidup tanpa nasi.”

Pengalaman ini membuat saya lebih menghargai keragaman pangan lokal. Di luar kebiasaan yang kita anggap tak tergantikan, selalu ada alternatif sehat dan berkelanjutan. Masyarakat Cireundeu telah membuktikannya selama lebih dari satu abad. Meski baru mencoba selama tujuh hari, saya bisa merasakan kekuatan tradisi itu. [*]

 

Artikel ini merupakan bagian dari serial liputan kolaborasi #PerempuanRawatBumi bersama media anggota Women News Network (WNN), didukung oleh International Media Support (IMS).

Informasi soal WNN bisa diakses di https://womennewsnetwork.id/ 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Terpopuler

ORDER MERCHANDISE

Bingung cari konten yang aman untuk anak?
 
Dapatkan rekomendasi menarik dan berikan pendapatmu di Screen Score!
Ilustrasi melatih anak bicara/Bukbis Ismet Candra Bey/digitalMamaID