digitalMamaID – Apakah Mama sudah menonton film Merah Putih: One for All? Film ini sedang jadi perbincangan hangat di kalangan warganet. Banyak warganet yang mengkritik lantaran visual grafis yang kurang menarik, dugaan dana Rp 6,7 miliar yang digelontorkan pemerintah untuk pembuatan film, sampai dugaan cuci uang mencuat di media sosial.
Di media sosial X, Facebook sampai Instagram banyak sekali bermunculan komentar-komentar negatif. Salah satunya dari akun @cuddleseasonii, “Ini bau cuci uang menyengat sekali, tolong usut KPK,” tulisnya.
“Tolong diusut KPK,” tulis akun Instagram @pancapradipta17 di kolom komentar Instagram Toto Soegriwo, selaku produser yang sekarang sudah deactive.
Sinopsis Merah Putih: One for All
Dikutip dari 21CinePlex, film ini mengisahkan sekelompok anak terpilih yang menjadi ‘Tim Merah Putih’ untuk menjaga bendera pusaka yang akan dkibarkan pada 17 Agustus. Namun, tiga hari sebelum upacara, bendera itu hilang, delapan anak dari beragam latar belakang dan budaya seperti Betawi, Papua, Medan, Tegal, Jawa Tengah, Makassar, Manado dan Tionghoa tersebut akhirnya bersatu dalam misi heroik mencari bendera yang hilang secara misterius.
Film ini diproduksi oleh Perfiki Kreasindo di bawah Yayasan Pusat Perfilman H.Usmar Ismail dengan Toto Soegriwo sebagai produser utama dan Endiarto serta Bintang Takari sebagai sutradara dan penulis naskah.
Hujan kritik
Meski mengusung tema kebangsaan, film ini justru menuai lebih banyak kritik ketimbang pujian. Publik ramai memperbincangkan kualitas produksi, alur cerita, hingga isu dana. Berikut lima hal yang jadi sorotan film ini:
1. Visual dan alur cerita dinilai tidak menarik
Sejak trailer resmi dirilis, banyak warganet yang janggal dan menilai animasi ini jauh dari standar yang diharapkan. Setelah sebelumnya masyarakat dibuat optimis akan masa depan animasi Indonesia yang mulai maju, sejak munculnya serial Nussa, Adit & Sopo Jarwo hingga film Jumbo (2024), ekspektasi publik terhadap kualitas animasi lokal semakin tinggi. Sayangnya, Merah Putih: One for All dianggap tidak mampu memenuhi standar itu. Kritik pun bermunculan, mulai dari kualitas visual yang dinilai kaku, desain karakter yang kurang detail, hingga cerita yang terasa klise dan tidak segar.
2. Heboh dana produksi
Film ini disebut-sebut menghabiskan dana Rp6,7 miliar dan diduga kucuran dana ini datang dari pemerintah. Namun, Toto Soegriwo selaku produser film ini angkat bicara dalam akun X-nya. “Satu rupiah pun tidak ada dari pemerintah,” katanya menanggapi tuduhan.
Hal serupa juga dilontarkan oleh Wakil Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Irene Umar, dalam laman Instagramnya ia menegaskan bahwa pemerintah tidak memberikan dana produksi maupun fasilitas promosi secara langsung kepada film ini. Audiensi yang dilakukan hanya untuk memberikan masukan, bukan dukungan finansial.
Direktur Utama Produksi Film Negara (PFN) Riefian Fajarsyah atau Ifan Seventeen turut buka suara mengenai film animasi Merah Putih: One for All. Dalam CNN, ia menegaskan PFN sama sekali tidak terlibat dalam proses produksi. “Film Merah Putih: One for All ini dimiliki dan diproduksi oleh PH swasta,” kata Ifan. “Dan perlu diingat, film ini tidak menggunakan dana ataupun anggaran dari pemerintah sedikit pun, dan ini bukan film PFN,” lanjutnya.
Namun, cerita berbeda datang dari Bintang Takari, selaku animator dan penulis naskah film bahkan mengaku budget nyata film ini hanya Rp 1 juta saja, itupun ia gunakan untuk mentraktir para pengisi suara di warteg. Ia mengaku membuat film ini sendiri, “Film ini sepenuhnya saya buat sendiri. Dengan modal sekecil itu, saya tidak ingin repot mencari sponsor, apalagi meminta dana dari pemerintah,” katanya, dalam pesan tangkapan layar yang beredar luas.
Wah, kalau Mama punya Rp1 juta berani nggak buat film animasi?
3. Sepak terjang orang-orang di balik layar
Perfiki Kreasindo berada di bawah Yayasan Pusat Perfilman H.Usmar Ismail (YPPHUI), ini awalnya merupakan inisiatif Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin pada tahun 1971. Dia membentuk yayasan dan membangun gedung bernama Pusat Perfilman H. Usmar Ismail. Gedung ini kemudian secara resmi diresmikan pada 20 Oktober 1975 sebagai wujud penghormatan kepada Usmar Ismail, pelopor perfilman nasional.
Toto Soegriwo sendiri pernah aktif di YPPHUI dan organisasi perfilman nasional lainnya. Kariernya dimulai dari rumah produksi PT Djohar Mandiri Jaya, radio serta menjadi Creative Director di PT Foromoko Matoa Indah Film. Beberapa karyanya adalah ‘Basement Jangan Turun ke Bawah’, ‘Lantai 4’, dan ‘Ramadhan Pertama Tanpa Ayah’.
Sedangkan Endiarto dan Bintang Takari selaku animator dan penulis naskah, tidak ditemukan rekam jejak karya sebelumnya. Walau begitu berdasarkan profil LinkedIn-nya, Bintang mengaku telah berkecimpung di dunia perfilman sejak Agustus 2012.
4. Tayang menjelang HUT RI ke-80 di bioskop
Film ini sudah tayang di bioskop-bioskop per tanggal 14 Agustus kemarin, sutradara Endiarto mengakui film ini akan tayang dengan slot layar yang sangat terbatas karena, terkendala dana dan tidak mampu menggandakan Digital Cinema Package (DCP).
Dilansir dari BBC, meloloskan sebuah film di bioskop itu memang tidak mudah karena banyak saingan dan aturan yang ketat. Perlu Surat Tanda Lulus Sensor (STLS) dari Lembaga Sensor Film (LSF), juga setiap elemen dalam film punya hak cipta yang sah, jadi tidak ada pelanggaran hukum di kemudian hari.
Data Badan Perfilman Indonesia (BPI), 2024 lalu menunjukkan, ada 285 film yang diproduksi oleh 140 rumah produksi. Menurut Hanung Bramantyo, kuota film itu terbatas. “Jika dipaksakan bisa saja ada akan 16 film tayang setiap bulan, itu baru film Indonesia saja,” ungkapnya.
Rumah produksi pada akhirnya bersaing untuk memperebutkan jadwal penayangan yang strategis seperti musim liburan. Untuk itu rekam jejak rumah produksi dan kualitas cerita dalam film juga diperhatikan bioskop.
Teknis penayangan juga diatur ketat, menurut Hanung proses pengajuan film ke bioskop itu perlu waktu sekitar tiga bulan, itu untuk film yang sudah jadi dalam format DCP.
5. Proses penggarapan kilat
Sutradara Hanung Bramantyo melontarkan kritik terkait proses pembuatan yang kilat sehingga terkesan dipaksakan. “Seperti yang saya duga bahwa film itu emang belum selesai untuk dibuat ya. Jadi saya merasa bahwa itu terlalu dipaksa, dipaksakan untuk ditampilkan,” ujarnya dikutip dari Kompas. Karena alasan itu, ia menolak memberikan penilaian dalam bentuk angka atau rating.
Menurut analisisnya sebagai seorang sutradara yang juga pernah menggarap proyek animasi, film ini setidaknya membutuhkan waktu dua hingga tiga tahun lagi untuk bisa disebut matang. Ia kemudian memaparkan proses ideal pembuatan film animasi yang umumnya memakan waktu empat tahun. “Tahun pertama itu membuat previs (pra-visualisasi) dan plotting karakter. Tahun keduanya baru digerakkan. Tahun ketiga baru diedit, dikasih musik, dikasih efek suara. Tahun keempat baru dipasarkan. Enggak kemudian 2 bulan, 3 bulan,” pungkas Hanung.
Mama berencana nonton Merah Putih: All for One? Jika iya, Mama bisa membagikan pendapat tentang film ini di Screen Score! Tulis review jujur di sini, ya! [*]