digitalMamaID — Hari Bidan Nasional yang diperingati setiap 24 Juni di Indonesia menjadi salah satu momen penting untuk mengapresiasi profesionalitas para bidan di seluruh pelosok negeri di Indonesia. Peran dengan tanggung jawab bidan sangat besar dalam membantu proses persalinan mulai dari masa kehamilan hingga melahirkan, termasuk memantau kesehatan fisik dan psikis ibu hamil, dan mengawal mulai dari 1.000 hari pertama kehidupan anak sebagai periode emas sejak masa kehamilan hingga anak berusia 2 tahun.
Turut memperingati hari Bidan Nasional, Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) mengapresiasi peran strategis Bidan sebagai penyedia layanan kesehatan sekaligus agen perubahan sosial yang berkontribusi pada perlindungan hak-hak perempuan, khususnya korban kekerasan.
Peningkatan kapasitas
Komnas Perempuan mendorong penguatan peran bidan melalui peningkatan kapasitas berbasis hak asasi manusia, integrasi pendekatan interseksional, pengembangan sistem rujukan komunitas, serta dukungan kelembagaan agar bidan dapat bekerja secara profesional dan berkelanjutan.
“Di tengah situasi krisis, termasuk bencana, konflik, dan keterbatasan layanan di wilayah tertinggal, bidan terbukti menjadi garda terdepan dalam menjaga kesehatan dan hak-hak reproduksi perempuan,” ujar Komisioner Komnas Perempuan, Yuni Asryanti dalam siaran persnya, Selasa, 24 Juni 2024.
Berdasarkan Catatan Tahunan (CATAHU) Komnas Perempuan sejak 2001, kekerasan seksual menempati urutan kedua tertinggi dengan total 6,8 juta kasus. Namun, korban masih sering gagal mendapatkan pemulihan yang menyeluruh karena terbatasnya akses pada layanan kesehatan seksual dan reproduksi yang aman dan berbasis hak.
Meskipun Permenkes No. 21 Tahun 2021 telah mengakui peran bidan sebagai penyedia layanan dan konselor, banyak bidan enggan menjalankan fungsi tersebut akibat ancaman kriminalisasi, stigma, dan ketiadaan perlindungan hukum. Kondisi ini menempatkan tenaga kesehatan dalam posisi rentan dan menghambat pemenuhan hak korban, sehingga negara perlu segera menjamin perlindungan hukum dan dukungan bagi bidan.
Ketimpangan distribusi bidan
Sementara itu, Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) 2017 mencatat bahwa 79 persen persalinan ditolong oleh tenaga kesehatan terlatih, dengan bidan sebagai aktor dominan di luar rumah sakit. Namun, data Badan Pusat Statistik (BPS) 2023 menunjukkan jumlah bidan di Indonesia hanya 344.928 orang, jauh di bawah kebutuhan ideal menurut Kementerian Kesehatan yang mencapai 558.005 bidan.
Ketimpangan distribusi ini paling nyata di wilayah timur Indonesia, seperti Papua, yang hanya memiliki sekitar 8.159 bidan untuk melayani enam provinsi. Lebih dari sekadar tenaga medis, bidan berperan penting dalam perlindungan hak asasi perempuan, termasuk dalam situasi kehamilan yang tidak diinginkan akibat kekerasan seksual.
“Sulit membayangkan proses pemulihan korban kekerasan seksual, khususnya di wilayah yang sulit terjangkau, tanpa peran Bidan. Dalam banyak kasus, merekalah yang pertama kali menjangkau korban, memberikan pertolongan medis darurat, serta menjadi pendamping yang aman dan empatik bagi perempuan korban kekerasan,” ujar Komisioner Yuni Asryanti.
Bidan memiliki peran strategis dalam mencegah kematian ibu, yang masih menjadi tantangan serius di Indonesia. Angka Kematian Ibu (AKI) di Indonesia pada 2023 tercatat sebesar 189 per 100.000 kelahiran hidup. Indonesia menempati peringkat ketiga tertinggi di ASEAN setelah Kamboja dan Myanmar. Sebagian besar kematian ibu akibat perdarahan, preeklamsia, dan eklamsia ini dapat dicegah melalui intervensi tepat waktu oleh tenaga kesehatan terlatih seperti bidan.
Negara wajib perkuat bidan
Konvensi mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap (CEDAW) menegaskan bahwa kematian ibu yang dapat dicegah merupakan bentuk kekerasan berbasis gender jika negara gagal menyediakan layanan kesehatan maternal. Rekomendasi Umum No. 24 dan 35 CEDAW menekankan bahwa pembiaran terhadap hambatan akses perempuan merupakan pelanggaran hak atas kesehatan, kehidupan, dan kesetaraan. Oleh karena itu, negara wajib memperkuat peran bidan secara struktural agar mereka mampu menjalankan peran pelayan kesehatan dan penyelamatan kehidupan secara maksimal.
“Setiap kematian ibu yang bisa dicegah namun negara tidak menyediakan layanannya menandakan kelemahan negara dalam melindungi hak hidup perempuan. Bidan adalah garda terdepan yang harus dilindungi dan didukung, bukan dibiarkan bekerja dalam keterbatasan karena itu bentuk kekerasan struktural yang harus dihentikan,” kata Yuni.
Komisioner Komnas Perempuan Sri Agustini mengatakan, pada peringatan Hari Bidan Nasional 2025, Komnas Perempuan juga mendorong Kementerian Kesehatan dan Kementerian Lembaga terkait lainnya untuk mengambil langkah-langkah konkret, berkelanjutan, dan berpihak dalam memperkuat peran strategis bidan sebagai garda terdepan pelindung hak hidup, hak atas kesehatan, dan martabat perempuan.
“Negara perlu memastikan penguatan kebijakan dan program, pelatihan yang komprehensif, serta jaminan perlindungan hukum bagi bidan, khususnya dalam menjalankan layanan kesehatan reproduksi dan pendampingan korban kekerasan seksual,” pungkas Sri.
Bidan belum sejahtera
Presiden Asosiasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (ASPIRASI) Mirah Sumirat menyebutkan, bidan memiliki peran yang sangat penting dan tidak tergantikan dalam menjaga kesehatan ibu dan anak, yang merupakan pondasi masa depan bangsa. Ini menekankan bahwa profesi bidan bukanlah pekerjaan yang mudah. Sayangnya, tanggung jawab pekerjaan yang tidak mudah ini juga tidak sebanding dengan upah mereka yang masih jauh dari kata sejahtera.
“Kesejahteraan tenaga kesehatan di Indonesia masih minim,” ungkap Mirah dilansir dari CNBC.
Padahal, kata dia, tenaga bidan sangat dibutuhkan oleh masyarakat dalam menangani berbagai kejadian yang sampai terkait dengan nyawa, namun bayaran per bulannya masih tergolong sangat miris. Karena itu, pihaknya juga turut menyuarakan nasib kesejahteraan pekerja kesehatan, dokter, perawat, bidan dan petugas posyandu.
“Ada salah satu yang menjadi anggota kami yaitu serikat pekerja bidan Indonesia, keluhan mereka sangat jauh upahnya dari UMP, ada yang dibayar Rp 300.000 per bulan untuk bidan honorer dan yang lainnya sama,” katanya.
Ketika upah yang diterima jauh dari kata sejahtera, kemudian tenaga kesehatan seperti bidan juga tidak memiliki bargaining power yang kuat, sehingga kerap terjadi kesewenang-wenangan dalam bekerja.
“Dari sisi aturan juga tidak jelas misalnya jam kerjanya tidak ada kejelasan dan ada juga saat dimutasi justru dilakukan tidak berkeadilan, adanya penekanan, tidak ada diskusi dua arah, tidak ada negosiasi dan advokasi bagi tenaga kesehatan,” kata Mirah.
“Untuk itu kami minta pekerja kesehatan secara hukum dapat dilindungi dengan baik karena jasa mereka juga tidak kalah pentingnya bagi profesi yang lainnya,” tambahnya. [*]