digitalMamaID – Perkembangan teknologi digital membawa dampak besar bagi anak-anak. Saat akses informasi semakin mudah, risiko yang mengancam anak-anak di dunia maya juga semakin meningkat. Hal ini menjadi perhatian banyak negara di dunia, termasuk Indonesia. Lalu, perlukah pembatasan penggunaan media sosial untuk anak?
Hal ini menjadi pembahasan di diskusi publik yang diselenggarakan oleh Ikal Strategic Centre dan Siberkreasi pada awal Februari lalu. Diskusi bertema “Pembatasan Media Sosial untuk Anak-Anak: Bagaimana Sebaiknya?” ini menghadirkan diskusi mendalam mengenai tantangan dan solusi dalam membatasi akses ke media sosial untuk anak-anak Indonesia.
Advisor ICT Watch dan Ketua Gerakan Umum Nasional Literasi Digital Siberkreasi Donny Utoyo mengatakan, ketersediaan konten anak di internet masih terbatas. Meskipun pilihan hiburan semakin luas dibandingkan era televisi, anak-anak kini lebih sering terpapar konten yang tidak sesuai dengan usia mereka, termasuk lagu-lagu dewasa.
Selain itu, ancaman digital seperti cyberbullying, eksploitasi seksual, dan konten tidak pantas semakin mengkhawatirkan. Donny juga mengingatkan, kecerdasan buatan (AI) bisa menjadi alat bantu positif, seperti untuk belajar bahasa, namun juga berpotensi berbahaya jika tidak diawasi dengan baik.
Penggunaan internet oleh anak-anak
Berdasarkan data BPS:
-
- Tahun 2022: 12,43% anak usia 12 tahun menggunakan internet.
- Tahun 2023: 12,25% anak usia 12 tahun menggunakan internet, dengan total 26 juta anak usia 5-20 tahun yang aktif berinternet.
- Tahun 2024: 9,17% anak di bawah 12 tahun sudah mengakses internet.
Data ini menunjukkan peningkatan penggunaan internet oleh anak-anak, yang berarti risiko terpapar konten berbahaya juga semakin besar. KPAI mencatat 12 kasus kejahatan siber yang melibatkan anak dalam beberapa tahun terakhir. Bahkan, layanan messenger telah dimanfaatkan untuk perdagangan konten ilegal anak.

Pentingnya parenting era digital
Riset oleh Jakpat mengungkapkan, sebagian besar orang tua mengizinkan anak mengakses media digital untuk keperluan belajar. Namun, banyak orangtua yang kurang memahami pentingnya mendampingi anak dalam penggunaan teknologi.
“Misalnya, fitur Digital Wellbeing yang ada di handphone sering diabaikan oleh orangtua padahal fitur itu dapat menjadi pendampingan dasar orangtua untuk anak di era digital,” ujar Donny.

Sempat ramai kasus viral tentang anak TK yang mencabuli temannya setelah melihat video dewasa di ponsel orangtuanya. Kasus ini menunjukkan pengawasan dan pemahaman orangtua masih kurang dalam mendampingi anak di era digital. Orangtua harus ingat bahwa memberikan akses tanpa batas kepada anak tanpa edukasi digital dapat berdampak buruk pada tumbuh kembang mereka.
Regulasi internet untuk anak di berbagai negara
Beberapa negara menerapkan regulasi ketat terkait akses internet bagi anak-anak. Landasan regulasi yang dibuat berangkat dari persoalan kesehatan mental yang banyak dialami oleh anak-anak di era digital.
Australia melarang anak di bawah 16 tahun menggunakan media sosial dan menetapkan denda sebesar 50 juta AUD untuk yang melanggar. Lalu, Amerika Serikat dan Inggris melarang anak di bawah 13 tahun memiliki media sosial. Adapun Uni Eropa yang melarang anak di bawah 13-16 tahun (tergantung negara bagian) memiliki media sosial dan menetapkan denda bagi platform yang melanggar. Disusul Tiongkok yang melarang anak di bawah 14 tahun bermedia sosial dan melarang anak di bawah 18 tahun untuk bermain game online.
Walaupun begitu, peraturan-peraturan tersebut menghadapi masalah lain seperti pemalsuan usia dan dianggap membatasi inovasi teknologi karena dinilai terlalu ketat.
Saat ini Indonesia masih mencari model terbaik dalam membatasi akses anak ke media sosial tanpa menghambat kreativitas dan edukasi. Donny menekankan, meskipun regulasi diperlukan, peran orangtua tetap lebih besar dalam membimbing anak-anak.
Tantangan bonus demografi dan regulasi yang berimbang
Indonesia akan mencapai puncak bonus demografi pada tahun 2030. Agar menjadi negara berpendapatan menengah, regulasi digital harus mendukung perkembangan generasi muda tanpa menghambat inovasi mereka.
Regulasi yang terlalu ketat dapat menjadi kontraproduktif dalam mencetak Generasi Emas 2045. Oleh karena itu, kebijakan harus mencakup aspek hulu, tengah, dan hilir, termasuk perlindungan dari kekerasan seksual berbasis elektronik sebagaimana diatur dalam UU TPKS.
Deputi Bidang Perlindungan Khusus Anak Kementerian Pemberdayaan dan Perlindungan Perempuan dan Anak Lani Ritonga menuturkan, saat ini pemerintah telah mengeluarkan berbagai regulasi untuk melindungi anak di dunia digital, seperti UU Perlindungan Anak, UU ITE, PP No. 71 tentang Penyelenggaraan Sistem Elektronik, Peraturan Menteri Kominfo No. 5 Tahun 2020 tentang Pengelolaan Sistem Elektronik.
Meski begitu, tantangan dalam menangani konten negatif tetap besar. Data menunjukkan bahwa platform dengan jumlah konten bermasalah terbesar adalah:
- X (Twitter),
- WhatsApp dan Facebook,
- Telegram dan TikTok.
Dari statistik penanganan konten negatif di internet periode 2016-2024, judi online menempati posisi tertinggi dengan persentase 4,7%, disusul oleh pornografi, terorisme, perdagangan orang, berita bohong (hoax), dan lainnya. Meskipun pemerintah terus berupaya memblokir konten negatif, jejak digital tetap ada dan dapat diunggah kembali oleh pihak lain, sehingga upaya ini harus dilakukan secara berkelanjutan.
Walaupun nanti regulasi pembatasan bermedia sosial dilakukan, pemerintah dan pihak terkait harus mengingat akan hak anak yang harus tetap dipenuhi. Konvensi Hak Anak menyatakan bahwa anak harus didengarkan dan boleh menyatakan pendapatnya.
“Kita harus menghormati hak anak karena dilindungi undang-undang, namun yang harus diedukasi adalah etika berpendapat agar anak tidak menjadi pelaku tindak pidana atau anak yang berhadapan dengan hukum (ABH),” ujar Lani.
Rergulasi tidak boleh FOMO
Dosen Ilmu Komunikasi FISIP UI Endah Triastuti memaparkan, media sosial memiliki tiga pilar utama, yaitu teknologi, pengguna, dan industri. Menurut dia, masalahnya bukan hanya membatasi penggunaan media sosial untuk anak, namun juga mengatur dua pilar lainnya.
Regulasi yang efektif harus mencakup ekosistem secara menyeluruh, bukan hanya menempatkan tanggung jawab pada individu atau keluarga, namun juga industri dan teknologinya. Hal ini penting, terutama jika kita ingin menjadikan perlindungan anak sebagai bagian dari visi Indonesia Emas 2045.
Sering kali, apresiasi terhadap teknologi di Indonesia masih dipengaruhi oleh negara-negara barat. “Ketika negara-negara global north seperti Amerika Serikat memperkenalkan internet dengan berbagai manfaatnya, kita menerimanya dengan wishful thinking tanpa mempertimbangkan konteks lokal.” ujar Endah Triastuti.
Banyak kebijakan yang diadopsi dari badan dunia seperti UNICEF atau PBB diterapkan langsung dalam tata kelola di Indonesia, meskipun sistem yang ada sering kali tidak siap. Sebagai contoh, penelitian Endah di 10 negara ASEAN menemukan berbagai tantangan dalam literasi digital anak dan remaja.
Salah satu temuan di Belitung Timur menunjukkan, anak-anak mencari informasi di Google tentang hubungan seksual, tetapi mendapatkan jawaban yang menyesatkan. Akibatnya, mereka melakukan hubungan seksual tanpa perlindungan, berujung pada kehamilan di usia 14 tahun. Anak-anak yang lahir dari situasi ini sering kali mengalami pengabaian dan akhirnya mengalami stunting. Ini adalah contoh bagaimana informasi digital yang tidak terkalibrasi dengan pendidikan dan nilai sosial dapat berdampak buruk pada anak-anak.
Langkah-langkah untuk melindungi anak di dunia digital
Menurut Endah, pembatasan media sosial untuk anak-anak harus dilakukan dengan cara yang edukatif dan berimbang. Selain pembatasan, perlu langkah lain yang harus dilakukan. Antara lain regulasi yang lebih ketat terhadap penyebaran konten negatif. Hukum harus ditegakkan terhadap penyebar konten berbahaya. Keterlibatan orangtua dan sekolah juga perlu ditingkatkan dalam mendampingi anak-anak. Endah menyarankan, perlu ada media alternatif yang lebih sehat untuk anak-anak.
Dengan pendekatan yang tepat, anak-anak dapat tetap menggunakan media sosial secara positif tanpa mengorbankan kesehatan mental dan keamanan mereka. Literasi digital menjadi kunci utama dalam mempersiapkan anak-anak menghadapi era digital yang semakin kompleks.
Pembatasan media sosial untuk anak-anak bukan hanya tugas keluarga, tetapi juga negara. Regulasi yang tepat diperlukan untuk melindungi anak tanpa menghambat perkembangan mereka. [*]






