digitalMamaID — Selama bertahun-tahun, dunia menyaksikan kabar duka dari Gaza, meninggalkan luka, kelelahan, dan rasa muak terhadap genosida yang seolah tak berkesudahan. Muncul momentum baru melalui penyelenggaraan KTT Perdamaian Gaza di Sharm el-Sheikh, Mesir, pada 13 Oktober 2025. Meski belum saatnya berlebihan berharap, setidaknya langkah ini memberi isyarat bahwa upaya menuju perdamaian masih mungkin diperjuangkan.
KTT Perdamaian Gaza yang dipimpin oleh Presiden Amerika Serikat Donald Trump dan Presiden Mesir Abdel Fatah El Sisi diadakan sebagai upaya untuk mengakhiri konflik dan membuka jalan menuju pemulihan serta rekonstruksi Gaza setelah konflik berkepanjangan. Tapi, apakah jalan menuju damai semudah dan sesederhana itu? Setelah sebelumnya Amerika Serikat berulang kali memveto usulan gencatan senjata di PBB.
“Perang telah berakhir,” kata Trump kepada para wartawan menjelang keberangkatannya ke Timur Tengah, seperti dikutip AFP.
Kemudian ia ulangi pernyataan tersebut di depan parlemen Israel, Knesset dan kembali ia ulangi lagi pada saat pidato di Timur Tengah dengan penuh keyakinan.
Trump menyebut kunjungannya kali ini sebagai perjalanan yang istimewa. Sebagai bagian dari kesepakatan gencatan senjata, kelompok Hamas bersiap membebaskan 20 sandera Israel yang masih hidup. Sementara itu, Israel akan mulai membebaskan sekitar 2.000 tahanan Palestina. Sejumlah truk bantuan juga mulai diperbolehkan memasuki wilayah-wilayah di Gaza.
KTT Perdamaian Gaza
KTT Perdamaian Gaza dihadiri lebih dari 27 pemimpin dunia, termasuk Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres, serta para pemimpin dari Inggris, Italia, Spanyol, Perancis, Yordania, Irak, termasuk Presiden Republik Indonesia Prabowo Subianto. Namun, Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu batal hadir karena beralasan berdekatan dengan Hari Raya Yahudi, Simhat Torah.
Namun, laporan Reuteurs dari sumber-sumber diplomat negara partisipan menyebut ada alasan lain, yaitu adanya penolakan dari Irak dan Turki. “Delegasi Irak sudah menginformasikan ke Mesir, bahwa kami tak akan ikut berpartisipasi jika Netanyahu hadir,” ucap Penasihat Perdana Menteri Irak, Ali Al-Mousawi.
Sedangkan seorang diplomat Turki menyebut, Erdogan menolak kehadiran Netanyahu, bahkan pesawatnya dikabarkan berputar-putar di Laut Merah sampai akhirnya mendarat, setelah Netanyahu benar-benar terkonfirmasi batal hadir.
Pertemuan itu akhirnya menghasilkan deklarasi bersama dari sejumlah pemimpin Timur Tengah yang dikenal sebagai “Deklarasi Trump untuk Perdamaian dan Kemakmuran Abadi” (Trump Declaration for Enduring Peace and Prosperity).
Presiden Mesir, Abdel Fattah El Sisi memberikan keterangannya usai KTT Gaza, di Sharm el-Sheikh, Mesir, Senin, 13 Oktober 2025. “Saatnya menutup bagian yang menyakitkan dalam sejarah manusia, dan membuka kembali era baru kedamaian dan stabilitas untuk Timur Tengah,” kata El Sisi dikutip dari AFP.
Sementara Trump dalam pidatonya meyakini bahwa inilah saatnya membangun Gaza kembali demi mempertahankan perdamaian. Ia juga menyebut perundingan damai ini adalah yang terbaik dari perundingan-perundingan sebelumnya. “Kita harus bekerja secara kolektif untuk mengimplementasikan dan mempertahankan warisan ini,” ucap Trump.
Meskipun rencana deklarasi damai Trump masih berada pada tahap awal, Trump sangat yakin bahwa kesepakatan itu akan bertahan. Namun, para pakar masih ragu, menyoroti berbagai tantangan yang harus dihadapi demi terciptanya perdamaian abadi di kawasan tersebut.
Perdana Menteri Inggris Keir Starmer mengatakan bahwa tantangan berikutnya adalah “pelaksanaan kesepakatan” dan Inggris bersedia membantu proses demiliterisasi Gaza.
Trump menunjuk Dewan Perdamaian (Board of Peace) untuk mengawasi Gaza pasca perang, dengan dirinya sebagai ketua dan mantan PM Inggris Tony Blair sebagai anggota utama. Namun Hamas menolak keras keterlibatan Blair karena perannya dalam invasi Irak tahun 2003.
Walau perdamaian sudah dirumuskan, masa depan Gaza masih diliputi ketidakpastian, Israel sejauh ini telah membebaskan 250 tahanan Palestina dari penjara Israel dan 1.700 warga Gaza yang ditangkap pasca serangan Hamas pada 7 Oktober 2023.
Pemulihan Gaza butuh miliaran dolar
Dilansir dari Anadolu Agency, Kantor Berita Turki, dua tahun setelah genosida Israel di Jalur Gaza, daerah kantong Palestina itu hancur secara fisik, terpecah secara sosial, dan runtuh secara ekonomi.
Dengan lebih dari separuh penduduknya mengungsi, seluruh lingkungan rata dengan tanah, dan institusi-institusi kunci hancur, Gaza menghadapi pemulihan yang menurut para ahli dapat memakan waktu puluhan tahun dan menelan biaya miliaran dolar.
Laporan Penilaian Cepat Kerusakan dan Kebutuhan Sementara (IRDNA) Gaza dan Tepi Barat yang komprehensif, dirilis oleh Bank Dunia, Uni Eropa dan PBB pada bulan Februari, menggambarkan gambaran yang suram, dengan perkiraan biaya sebesar $53 miliar, sedangkan kebutuhan jangka pendek dalam tiga tahun pertama akan mencapai sekitar $20 miliar.
Menurut penilaian yang mengevaluasi situasi dari Oktober 2023 hingga Januari 2025, perkiraan kerusakan fisik yang terjadi sekitar $29,9 miliar, dan kerugian ekonomi dan sosial sebesar $19,1 miliar.
Perkiraan lain menyebutkan biaya pembangunan kembali daerah kantong itu bahkan lebih tinggi daripada angka yang dikutip dalam laporan IRDNA.
Kantor Media Gaza memperkirakan kerugian awal di sektor vital lebih dari $70 miliar, dalam sebuah pernyataan hari Jumat, yang menuntut rencana mendesak untuk membangun kembali.
Ahmed Bayram, penasihat media dan komunikasi untuk Dewan Pengungsi Norwegia (NRC), mengatakan bahwa membangun kembali Gaza akan memerlukan dorongan global, yang mungkin tidak terlihat dalam beberapa dekade.
“Tantangan untuk membangun kembali Gaza akan sangat besar dan akan mengharuskan Israel berkomitmen untuk mengizinkan perbaikan infrastruktur dan jalan secara cepat serta masuknya peralatan dan material konstruksi,” kata Bayram.
Mamoun Besaiso, penasihat PBB untuk rekonstruksi Gaza, menekankan kebutuhan mendesak warga Palestina yang tinggal di Gaza. “Hal utama yang harus segera diberikan kepada masyarakat adalah tempat tinggal. Setelah itu, kita perlu menyediakan layanan dasar, terutama air. Kita perlu menyediakan makanan bagi mereka, dan kita perlu menyediakan layanan medis dan pendidikan kembali ke sekolah,” ujar Besaiso.
Bayram setuju. “Untuk saat ini, fokusnya harus pada pemulihan bencana kelaparan yang mematikan dan penyediaan tempat berlindung sementara bagi masyarakat sebelum musim dingin. Saat ini, fokusnya harus pada penyelamatan nyawa manusia di Gaza,” pungkasnya.
KTT Perdamaian Gaza jangan hanya simbolik
KTT Perdamaian Gaza ini sebetulnya momentum penting diplomatik internasional untuk memformulasikan langkah kongkret mengakhiri konflik, membuka jalan pemulihan dan membangun kerjasama antara negara-negara untuk stabilitas kawasan. Jangan sampai ini hanya simbolik dan tidak bisa menghentikan akar konflik.
Hasil deklarasi baru yang tersebar di lini masa masih berupa komitmen negara-negara untuk bantuan kemanusiaan dan rekonstruksi, janji mendorong gencatan senjata permanen, seruan agar semua pihak kembali ke kerangka solusi dua negara.Tapi, tidak ada mekanisme baru yang mengikat secara hukum untuk menghentikan kekerasan atau menjamin akuntabilitas pihak-pihak yang melakukan kejahatan perang.
Faktanya, Israel masih memiliki kekuatan militer dan kontrol penuh atas akses Gaza. Bahkan, ditengah gencatan senjata kemarin, terjadi pembunuhan jurnalis Saleh Aljafarawi yang diduga dilakukan oleh pembelot yang dibiayai Israel. Tujuh tembakan bersarang di badan Saleh, akun media sosialnya yang menjadi bukti-bukti digital kekejaman zionis pun menghilang.
Tanpa penegakan hukum internasional, seperti penyelidikan yang benar-benar independen oleh ICC (Mahkamah Pidana Internasional), penegakan hukum kejahatan perang sulit dimintai pertanggungjawaban. Selama impunitas ini masih ada, genosida atau kekerasan sistematis akan terus mungkin terulang.[*]





