Indonesia Darurat Filisida, Apa Itu Filisida?

Ilustrasi filisida
Share

digitalMamaID — Kasus pembunuhan yang dilakukan oleh orangtua terhadap darah daging sendiri atau filisida kembali terjadi dan menjadi sorotan masyarakat luas. Kasus ini mengundang rasa iba sekaligus geram. Anak yang masih usia bermain dan balita yang belajar berceloteh harus menjadi korban atas persoalan yang dihadapi orangtua.

Baru-baru ini sebuah kasus filisida terjadi di Bandung, Jawa Barat yang menyisakan duka pilu. Seorang ibu memutuskan bunuh diri setelah meracuni kedua anaknya yang berusia 9 tahun dan 11 bulan, di sebuah kontrakan di Banjaran, Kabupaten Bandung, pada Jumat, 5 September 2025.

EN (34) membunuh kedua anaknya sendiri lantaran sudah tidak sanggup lagi menghadapi

tekanan hidup dan faktor ekonomi yang semakin mencekik hari-harinya. Tidak tega membiarkan kedua anaknya ikut menderita, EN memilih mengakhiri dengan memberikan racun. Hal ini diungkapkan EN dalam sebuah surat yang ditinggalkannya. 

Kejadian memilukan yang mengiris hati ini bukan kali pertama terjadi. Pada 2024, kasus serupa juga pernah terjadi di Bekasi, seorang ibu berinisial SNF (26) menusuk anak kandungnya yang berusia 5 tahun, AAMS, sebanyak 20 kali hingga meninggal.

Masih di Bekasi dan di tahun yang sama, seorang anak berusia 3 tahun dianiaya oleh orangtuanya hingga meninggal dunia. Motif pembunuhan karena orangtuanya yang merupakan tunawisma kesal setelah ditegur pegawai minimarket usai anaknya muntah-muntah. 

Kasus filisida lainnya terjadi di Medan. UM (39) membunuh anaknya yang masih berusia 6 bulan dengan cara dibacok menggunakan sebilah golok. Ia mengalami depresi karena mengurus tiga anak seorang diri dan mendengar suaminya hendak menikah lagi di luar kota. UM bahkan mencoba bunuh diri.

Indonesia darurat filisida 

Kasus-kasus yang muncul di permukaan ini hanyalah puncak gunung es dari banyaknya kasus kekerasan dan pembunuhan yang menargetkan anak-anak sebagai korban. Berdasarkan data Komisioner Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), sepanjang 2024 ada 60 kasus fisilida dan data Simfoni di KemenPPPA menyebutkan adanya 3.434 kasus kekerasan orang tua terhadap anak.

Apa itu filisida?

Dalam bahasa latin, filius (anak laki-laki), filia (anak perempuan), dan cide (membunuh), maka filisida artinya tindak pembunuhan yang dilakukan orang tua terhadap anaknya.

Menurut Komisioner KPAI, Diyah Puspitarini, ada dua jenis filisida, yakni mother filicide (pembunuhan yang dilakukan ibu) dan father filicide (pembunuhan dilakukan oleh ayah).

Kenapa orang tua sampai melakukan filisida?

Dilansir dari Kumparan, menurut Diyah ada banyak faktor yang menyebabkan orang tua melakukan filisida, mulai dari tekanan ekonomi, lingkungan sosial yang toxic, pendidikan, sampai masalah psikologis.

Dinah melanjutkan, kemiskinan seringkali menjadi sumber utama yang membuat orangtua melampiaskan kemarahannya pada anak-anak sebagai sasaran empuk dan paling rentan. Karena ternyata banyak orang tua yang belum siap memiliki anak di saat kondisi ekonomi mereka masih terpuruk. Di saat kondisi ekonomi sulit dan mereka merasa tidak sanggup memenuhi kebutuhan anak, perasaan frustasi memicu orang tua nekat melakukan hal keji seperti filisida.

Begitu juga dengan lingkungan sosial yang toxic yang bisa menjadi penyebab terjadinya filisida, karena dapat memicu stres, isolasi, dan keputusasaan pada orang tua yang kemudian berujung pada tindakan kekerasan terhadap anak.

Anak yang tumbuh di lingkungan kekerasan lambat laun akan menormalisasi kekerasan tersebut bahkan menganggapnya wajar. Hal ini berpotensi menciptakan kekerasan berulang dan turun temurun.

“Di kasus-kasus filisida, kebanyakan pasti orang tua sering melakukan kekerasan pada anak dan menganggap kekerasan itu biasa,” kata Diyah.

Kondisi psikologis seorang ibu yang baru melahirkan sangat rentan mengalami baby blues yang ditandai dengan emosi berubah-ubah, mudah menangis, dan merasa kewalahan terus-menerus.  Menurut Diyah, dalam kondisi ini ketika seorang ibu tidak mendapatkan dukungan yang menyeluruh dari suami dan keluarga, bisa berpotensi berujung pada mother filicide atau pembunuhan anak yang dilakukan oleh ibunya sendiri.

“Filisida itu akan terus berulang apabila tak ada upaya keluarga besar untuk merangkul. Filisida bisa dicegah ketika ada pengawasan atau bantuan dari kakek, nenek, atau keluarga besar. Hanya saja, terkadang, seseorang bisa merasa paling sendiri, takut, sungkan. Perasaan sendirian itulah menjadi awal penyelesaian masalah dengan tidak rasional,” ungkapnya.

Faktor lainnya yang juga sering menjadi pemicu adalah perkawinan anak. Menurutnya, pernikahan anak di bawah umur cenderung belum memiliki kesiapan untuk menjadi orangtua, termasuk juga kesiapan secara emosional dalam membesarkan anak, pengetahuan soal pengasuhan anak, dan belum ada kesiapan secara ekonomi.

Kasus di Bekasi, menurut Diyah, salah satu contoh filisida akibat perkawinan anak. Orang tua korban, yakni Zaky (19) dan Sinta (22), masih berusia sangat muda. Saat anak muntah di minimarket tempat mereka biasa mengemis, AZR dan SD emosi, lalu memukuli dan menendang RMR hingga meninggal.

Menanti kebijakan pemerintah

Wakil Ketua MPR RI Dr. H. M Hidayat Nur Wahid, MA mengaku miris dengan banyaknya kasus filisida yang terjadi di Indonesia. Ia mendorong pemerintah untuk hadirkan kebijakan ketahanan keluarga sebagai respons dari darurat filisida.

“Kita sangat miris mendengar kasus semacam ini, oleh karena itu harus ada upaya serius dan segera dari pemerintah untuk mencegah agar kasus serupa bisa berhenti dan tidak terulang, serta pelaku dijatuhi hukuman berat untuk menimbulkan efek jera,” kata Hidayat.

Lebih lanjut, Anggota Komisi VIII DPR RI yang salah satunya membidangi perlindungan anak dan perempuan ini berharap agar kebijakan ketahanan keluarga dapat dihadirkan oleh pemerintah, dengan merangkul berbagai aspek, termasuk salah satunya aspek ekonomi dan keagamaan. 

“Kondisi saat ini sangat memprihatinkan karena itu perlu ada dukungan ekonomi dan juga keagamaan bagi keluarga yang termasuk ke dalam kelompok rentan,” ujarnya.

Hidayat mengatakan kebijakan-kebijakan itu sebenarnya dapat dituangkan ke dalam aturan hukum yang komprehensif, seperti Rancangan Undang – Undang (RUU) Ketahanan Keluarga. “RUU Ketahanan Keluarga ini sempat diusulkan dan digagas oleh Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (FPKS) pada periode lalu, tetapi sayangnya tidak diterima oleh DPR dan Pemerintah periode yang lalu. Semoga di bawah pemerintahan Presiden Prabowo Subianto, RUU ini bisa dibahas kembali dan disetujui sebagai dasar kebijakan ketahanan keluarga di Indonesia,” ujarnya.

Dengan adanya dasar hukum yang memadai, lanjut HNW, kebijakan dapat lebih komprehensif untuk melengkapi beberapa aturan yang telah ada, di antaranya pemberatan hukuman pelaku penganiayaan dan pembunuhan oleh anak. Selain itu, perlu juga dilakukan kegiatan lebih gencar penyuluhan ketahanan keluarga dan keagamaan bagi para keluarga-keluarga muda atau kelompok rentan. [*]

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Terpopuler

ORDER MERCHANDISE

Bingung cari konten yang aman untuk anak?
 
Dapatkan rekomendasi menarik dan berikan pendapatmu di Screen Score!
Ilustrasi melatih anak bicara/Bukbis Ismet Candra Bey/digitalMamaID