digitalMamaID – Banyak hal yang terlihat indah di era media sosial kita. Keluarga bahagia, pasangan yang harmonis, anak-anak yang berprestasi biasanya menjadi hal yang banyak dibagikan. Tidak jarang bahkan membuat iri orang lain. Namun tidak banyak yang tahu, kisah di baliknya bak jalan berliku. Buku “Yang Katanya Cemara” menunjukkan, keluarga yang tidak sempurna juga bisa berbahagia.
Berawal dari Vania Winola, influencer muda berbakat yang sering membagikan cerita lewat video pendek yang berisi keluarga kecilnya yang bahagia. Banyak netizen menanggapi unggahan Vania ini dengan ungkapan bahwa Vania beruntung sekali memiliki keluarga cemara yang biasa diasosiasikan sebagai keluarga bahagia. Hingga suatu saat, Vania menulis buku yang berjudul “Yang Katanya Cemara”.
Buku ini cukup membuat kaget followersnya. Banyak followers yang tidak mengetahui Papa Ayok yang dsering berseliweran di kontennya adalah ayah tiri. Cerita hidup Vania tak semulus yang disangka orang. Buku “Yang Katanya Cemara” ini berisi tentang bagaimana Vania menghadapi perpisahan ayah bundanya. Ditulis dari sudut pandang anak, buku ini semakin membuat haru pembacanya.
Buku “Yang Katanya Cemara” juga menunjukkan kedekatan Vania dengan sang ibunda, Herma Prabayanti. Banyak netizen yang senang dengan relasi keduanya yang begitu hangat dan akrab.
Herma menyampaikan, hubungannya dengan anak lebih seperti partner kehidupan. “Saya menganggap anak sebagai partner kehidupan yang saling mengerti dan melengkapi. Saya dan anak terbiasa mengkomunikasikan hal-hal personal, menganggap mereka seperti partner yang saya butuhkan pendapatnya,” kata Herma saat berbincang dengan digitalMamaID di #digitalmamaTALK edisi Jumat, 9 Februari 2024.
Membiasakan jujur kepada anak, kata Herma, menjadi kunci agar anak dapat berempati. Banyak orang tua yang memaksakan untuk tetap bersikap sempurna padahal keadaan mereka sedang sangat buruk dan butuh waktu sendiri untuk memulihkan diri. Menurut Herma, bila seorang ibu menempatkan kebahagiaan dirinya terlebih dahulu sebelum yang lainnya bukanlah tindakan yang egois. Hanya ibu yang bahagia yang bisa menyalurkan kebahagiaan kepada anak.
Keputusan berpisah
Banyak pasangan suami istri yang memaksakan diri untuk tetap bertahan saat menghadapi masalah besar yang tak berujung. Anak biasanya dijadikan alasan untuk bertahan walaupun sebenarnya situasi yang akan terjadi belum tentu baik untuk anak. Namun, tidak demikian dengan Herma. Ia menyelamatkan diri terlebih dahulu agar bisa menyelamatkan yang lainnya, dalam hal ini anak.
Buku “Yang Katanya Cemara” menuturkan bagaimana Vania menghadapi hari-harinya setelah orangtuanya berpisah. Saat memutuskan berpisah dengan mantan suami, ia tidak meminta pendapat anak. Menurut dia, keputusan besar itu tidak bisa diintervensi siapapun sekalipun itu keluarga terdekat. “Saat mengetahui saya berpisah dengan ayahnya tentu Vania syok. Tapi lalu saya komunikasikan bahwa bila dilanjutkan, presentasi kebahagiaannya sangat kecil. Akhirnya ia pun mengerti,” ujar dosen di Universitas Negeri Surabaya ini.
Proses perceraian menjadi masa yang sulit untuk Herma dan anaknya. Namun, keduanya menjadi tim yang saling menguatkan. Herma yang saat itu masih bekerja di stasiun TV di Surabaya mengharuskan dirinya sering meninggalkan sang anak di apartemen. Herma mengkomunikasikan hal ini dengan Vania agar bisa menghadapi situasi ini bersama.
Vania saat itu berdoa agar sang bunda memiliki pekerjaan baru yang mempunyai jam kerja lebih fleksibel agar bisa lebih lama menemaninya. “Entah bagaimana, doa anak saya terkabul. Saya mendapatkan pekerjaan baru dengan jam yang lebih fleksibel. Dari situ saya percaya bahwa doa anak kepada orang tuanya dapat menembus langit,” ujarnya haru.
Mengenalkan anggota keluarga baru
Datangnya anggota keluarga baru seperti pasangan orang tua baru tentu tidak mudah. Herma tidak menunggu anaknya menerima kehadiran laki-laki pilihan ibunya. Herma justru mengenalkan kepada anaknya saat ia tahu calonnya siap berjuang agar diterima.
Perjalanannya tentu tidaklah mudah, banyak hal yang dicoba suami baru Herma agar Vania bisa menerimanya. Misalnya dengan main game bareng agar. Saat hubungan sudah terjalin baik, Herma tidak memposisikan suami barunya sebagai ayah baru Vania, tapi kepala keluarga yang baru.
Herma membiarkan Vania memanggil Papa Ayok dengan sebutan “M” yang diambil dari inisial namanya. Ia yakin, panggilan apapun yang disematkan tak mengubah kedekatan dan kenyamanan relasi antara Vania dan Papa Ayok. Herma pun tetap memberikan ruang untuk Vania dengan ayah kandungnya. Ia tak mengintervensi hubungan ayah anak itu.
Anak yang bahagia berawal dari orang tua yang berbahagia. Herma meyakini, seorang ibu yang tidak bahagia mustahil bisa membahagiakan anaknya. “Bagaimana ia bisa membahagiakan orang lain kalau dia sendiri tidak tahu rasanya bahagia,” ujar Herma. [*]