digitalMamaID – Meski masih menyisakan banyak pasal bermasalah, aturan baru hasil revisi Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) telah berlaku. Masyarakat harus kawal implementasi aturan baru ini.
Presiden Joko Widodo menandatangani Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2024 Tentang Perubahan kedua atas UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) pada Kamis, 4 Januari 2024. UU hasil tersebut masih memuat pasal-pasal bermasalah seperti pencemaran dan penyerangan nama baik, ujaran kebencian, informasi palsu, dan pemutusan akses.
Koalisi Masyarakat Sipil untuk Advokasi UU ITE (Koalisi Serius) menilai, pasal-pasal bermasalah tersebut akan memperpanjang ancaman bagi publik mendapatkan informasi serta hak kebebasan berekspresi di Indonesia. UU ITE di Indonesia adalah salah satu contoh tren di dunia bagaimana undang-undang terkait kejahatan dunia maya disalahgunakan untuk membungkam kebebasan berekspresi dan kebebasan pers.
Sejak disahkan pada 2008 dan revisi pertama 2016, UU ITE telah mengkriminalisasi pembela hak asasi manusia (HAM), jurnalis, perempuan yang menjadi korban kekerasan seksual, hingga warga yang melontarkan kritik sahnya. Koalisi Serius sejak awal menyoroti tertutupnya proses revisi sehingga memberikan sedikit ruang bagi keterlibatan dan pengawasan publik. Kurangnya transparansi ini menimbulkan risiko besar yang berpotensi menghasilkan peraturan yang menguntungkan elite dibandingkan perlindungan hak asasi manusia.
Awasi implementasi
Direktur Eksekutif Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet) Nenden Sekar Arum mengatakan, masih ada jalur hukum yang bisa ditempuh untuk menyikapi pengundangan Revisi Kedua UU ITE ini. Salah staunya ialah judicial review ke Mahkamah Konstitusi. Hal ini dimungkinkan karena adanya pelanggaran selama pembahasan UU yang tidak partisipatif. “Di sisi lain, kita juga bisa mendesak ke pemerintah untuk mencabut UU ITE ini. Seperti kasus Omnibus Law. Banyaknya penolakan masyarakat sehingga pemerintah menunda implementasinya,” katanya saat dihubungi Jumat, 5 Januari 2024.
Akan tetapi, seluruh proses itu membutuhkan waktu yang panjang. Cara lain yang bisa dilakukan masyarakat ialah dengan mengawasi implementasi Revisi Kedua UU ITE ini agar tidak disalahgunakan. “Klaim pemerintah kan ini undang-undang sudah lebih baik dan diharapkan tidak akan ada lagi kriminalisasi. Katanya pasal-pasal karetnya sudah direvisi,” katanya.
Ketika masih ada kasus kriminalisasi karena seseorang mengkritik pemerintah atau keberatan atas sesuatu malah dilaporkan UU ITE, maka masyarakat harus angkat suara. “Mau enggak mau, ini masih berlaku no viral no justice. Kalau masih ditemukan, masyarakat harus menyuarakan hal tersebut. Tenryata UU ITE masih digunakan untuk mengkriminalisasi orang,” tuturnya.
Semua bisa kena
Penyalahgunaan UU ITE untuk membungkam kritik seringkali ditiru oleh masyarakat. UU ITE dimanfaatkan untuk menyelesaikan konflik pribadi. Situasi ini semakin mengkhawatirkan. Semestinya, masyarakat memahami siapa saja bisa kena jerat UU ITE.
“Sebetulnya dengan kesadaran semua bisa kena, kalau orang lain dilaporkan dengan UU ITE itu, maka kita juga rentan. UU ini bisa digunakan siapa saja, menyasar siapa saja. Saat konflik personal, mestinya ada langkah lain yang bisa diambil. Kalau hari ini orang lain yang dilaporin ke polisi, bisa jadi di hari lain kita yang jadi korbannya,” ucap Nenden.
Upaya untuk membuat masyarakat memahami hukum memang masih diperlukan. Masyarakat juga mesti paham hak-hak digital mereka.
Pasal bermasalah baru
Alih-alih menghilangkan pasal yang selama ini bermasalah, koalisi menemukan perubahan Undang-undang ini masih mempertahankan masalah lama. Pasal-pasal bermasalah itu antara lain Pasal 27 ayat (1) hingga (4) yang kerap dipakai untuk mengkriminalisasi warga sipil. Selain itu juga Pasal 28 ayat (1) dan (2) yang kerap dipakai untuk membungkam kritik. Ditambah lagi ketentuan pemidanaan dalam Pasal 45, 45A, dan 45B.
DPR bersama Pemerintah juga menambahkan ketentuan baru, salah satunya Pasal 27A tentang penyerangan kehormatan atau nama baik orang. Ketentuan ini masih bersifat lentur dan berpotensi mengkriminalisasi masyarakat yang kritis.
Pasal baru lainnya adalah Pasal 27B tentang ancaman pencemaran. Pasal tersebut antara lain berbunyi: Pasal 27B ayat (1) berbunyi setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik, dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, memaksa orang dengan ancaman kekerasan untuk: a. Memberikan suatu barang, yang sebagian atau seluruhnya milik orang tersebut atau milik orang lain, b. Memberi utang, membuat pengakuan utang atau menghapuskan piutang.
Pasal 2B ayat (2) berbunyi setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum dengan ancaman pencemaran atau dengan ancaman akan membuka rahasia, memaksa orang supaya: a. Memberikan suatu barang yang sebagian atau seluruhnya milik orang tersebut atau milik orang lain, b. Memberi utang, membuat pengakuan utang atau menghapuskan piutang.
Selain itu, ada juga pasal 28 ayat 3 dan pasal 45A ayat (3) tentang pemberitahuan bohong yang sudah memiliki padanannya dalam KUHP baru. Pasal ini berpotensi multitafsir karena tidak ada penjelasan lebih lanjut apa yang dimaksud dengan pemberitahuan bohong dalam pasal ini.
Pasal 28 ayat 3 berbunyi Setiap Orang dengan sengaja menyebarkan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang diketahuinya memuat pemberitahuan bohong yang menimbulkan kerusuhan di masyarakat.
Selain pasal-pasal pemidanaan, hasil revisi kedua UU ITE masih mempertahankan Pasal 40 yang memberikan kewenangan besar bagi pemerintah memutus akses terhadap informasi yang dianggap mengganggu ketertiban dan dan melanggar hukum.
Empat desakan
Sebelumnya, sebanyak 68 organisasi global juga menyoroti tertutupnya proses revisi sehingga memberikan sedikit ruang bagi keterlibatan dan pengawasan publik. Kurangnya transparansi ini menimbulkan risiko besar yang berpotensi menghasilkan peraturan yang menguntungkan elite dibandingkan perlindungan hak asasi manusia.
Melihat berbagai masalah tersebut, yang masih eksis pada revisi kedua UU ITE, maka Koalisi Serius menyatakan menolak tegas pengundangan Revisi Kedua UU ITE oleh DPR RI. Hal itu karena prosesnya telah mengabaikan partisipasi publik bermakna. Selain itu, aturan ini terus melanggengkan pasal-pasal yang berpotensi digunakan untuk membungkam kebebasan berekspresi dan pelanggaran HAM lainnya.
Koalisi mendesak pemerintah untuk memastikan implementasi UU No.1/2024 agar tidak digunakan untuk mengkriminalisasi kelompok kritis dan korban kejahatan yang sesungguhnya. Tearakhir, mendesak pemerintah dan DPR RI untuk menerapkan partisipasi publik yang bermakna dalam setiap pengambilan keputusan. [*]