digitalMamaID – DPR dan Pemerintah Tengah menggodok revisi Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Sejumlah pasal yang dinilai dapat merugikan masyarakat akan dibahas dan diperbaharui. Salah satunya, terkait tanggung jawab platform media sosial dalam mengatasi penyebaran konten ilegal.
Tim peneliti Pemantau Regulasi Regulator Media (PR2Media) menyampaikan UU ITE yang ada saat ini belum merinci kewajiban platform media sosial dalam mengatasi konten ilegal. Platform media sosial, hanya harus menghapus konten ilegal yang ada di sistemnya, berdasarkan pantauannya sendiri maupun aduan dari pemerintah dan pengguna.
“Jika misalnya penyelenggara media sosial tidak mengabulkan aduan dari pemerintah, hanya ada satu pilihan ekstrem yang bisa diambil pemerintah, yaitu memblokir akses warga negara Indonesia ke platform tersebut secara total. Langkah ini kontraproduktif dan otoriter karena masih banyak konten yang legal dan bermanfaat bagi warga di platform tersebut,” kata peneliti PR2Media Wendratama saat Rapat Dengar Pendapat Umum dengan Panja Revisi UU ITE di Gedung DPR RI, Kamis, 23 Agustus 2023.
Penyelenggara media sosial
PR2Media mengusulkan revisi Pasal 15 UU ITE yang mengatur tanggung jawab penyelenggara sistem elektronik, khususnya penyelenggara media sosial, seperti YouTube, Facebook, TikTok, Instagram, dan Twitter. Revisi itu berupa tambahan pasal yang mewajibkan penyelenggara media sosial untuk melakukan antara lain:
- Menyampaikan secara terbuka tentang cara penyelenggara media sosial mengenali dan menentukan suatu konten sebagai konten yang melanggar hukum.
- Menyediakan informasi bagi pengguna yang mengalami penghapusan konten atau penangguhan akun, yang memuat penjelasan mengenai pelanggaran yang dilakukan, cara penyelenggara media sosial mendeteksi pelanggaran, dan langkah banding yang dapat ditempuh oleh pengguna.
- Menanggapi dan menindaklanjuti aduan dari masyarakat dan pemerintah terkait konten yang melanggar hukum berupa penilaian dan tindakan terhadap objek aduan dengan mengedepankan prinsip kehati-hatian dan keadilan.
- Mempublikasikan laporan tahunan tentang aduan dari masyarakat dan pemerintah terkait konten yang melanggar hukum serta tindakan penyelenggara media sosial dalam menindaklanjutinya.
- Melaksanakan audit yang diselenggarakan oleh auditor independen setidaknya satu tahun sekali terkait kepatuhan penyelenggara media sosial terhadap regulasi ini.
Penyelenggara media sosial di sini dimaknai sebagai pihak yang menyelenggarakan sistem elektronik berbasis internet. Platform tersebut memungkinkan para penggunanya saling mengirimkan informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik dalam jaringan sistem elektronik yang bersifat terbuka. Kriteria lainnya ialah dari jumlah pengguna aktif bulanan di Indonesia di atas 20 juta orang. Selain kriteria itu, media sosial lain yang diusulkan oleh masyarakat karena dianggap penting dan disetujui oleh lembaga berwenang juga bisa dimasukkan.
Konten ilegal
Sementara itu, Ketua PR2Media Masduki menyampaikan riset PR2Media terkait penyebaran konten ilegal yang sering dijumpai masyarakat Indonesia. “Survei PR2Media terhadap 1.500 pengguna media sosial di 38 provinsi di Indonesia menemukan, konten ujaran kebencian dan hoaks sebagai konten ilegal yang paling sering dijumpai masyarakat,” kata Masduki dalam diskusi publik yang diadakan di Cikini, Jakarta.
Konten misinformasi/kabar bohong/hoaks menduduki peringkat kedua disusul dengan konten penipuan dan pencemaran nama baik. Selebihnya, konten seperti pornografi/prostitusi, pelanggaran hak cipta, penyebaran data pribadi, perjudian, terorisme dan perdagangan manusia juga kerap ditemukan dalam penyebaran konten ilegal.
Diskusi publik ini turut menghadirkan sejumlah narasumber lainnya, yaitu Direktur Eksekutif SAFEnet Damar Juniarto, Pengacara LBH Pers Mustafa, Ketua Bidang Data dan Informasi AJI Indonesia Bayu Wardhana dan peneliti ELSAM Parasurama Pamungkas.
Revisi definisi
Direktur Eksekutif SAFEnet Damar Juniarto mengapreasiasi temuan survei PR2Media yang menunjukkan secara bernas melalui data survei apa yang selama ini disuarakan SAFEnet. Damar mengatakan bahwa belum ada tindakan memadai dari platform untuk mengatasi penyebaran konten ilegal di media sosial.
“Tantangan ini diprediksi akan semakin pelik mendekati Pemilu 2024 dan kondisi ini terjadi karena dua hal utama, yaitu platform tidak memahami konteks lokal dan persoalan regulasi di Indonesia. Karena itu, SAFEnet sepakat harus ada perbaikan regulasi, yaitu revisi UU ITE. Idealnya, revisi total UU ITE,” kata Damar saat diskusi bersama di Cikini.
Parasurama dari ELSAM menyoroti problem kategorisasi konten di Indonesia, yaitu semua konten berbahaya dianggap konten ilegal, alias bisa dipidanakan. Menurutnya, revisi UU ITE perlu mendefinisikan konten ilegal secara lebih detail dan terukur.
“Selama ini kewenangan pengaturan konten hanya berada di pemerintah. Revisi UU ITE juga perlu memberikan tanggung jawab yang lebih besar kepada platform, sebagai bagian dari prinsip self-regulation,” kata Parasurama.
Senada dengan itu, Bayu Wardhana dan Mustafa mengatakan, usulan revisi PR2Media ini perlu dibarengi dengan revisi pendefinisian “mengganggu ketertiban umum, menyebabkan keresahan, dan pencemaran nama baik”. Hal itu penting untuk menciptakan kepastian hukum dan menghindari multitafsir dari aparat penegak hukum.
Diketahui, revisi kedua UU ITE sedang memasuki tahap akhir. Komisi I DPR RI menargetkan revisi ini selesai pada masa sidang saat ini. Seperti disampaikan oleh sejumlah anggota Komisi I DPR, revisi kali ini bersifat terbatas alias hanya menarget pasal-pasal yang selama ini menimbulkan ketidakpastian. Misalnya Pasal 27 Ayat (3) tentang penghinaan dan atau pencemaran nama baik dan Pasal 28 Ayat (2) terkait ujaran kebencian. [*]